Aspek Kognitif dalam Desain User Experience (UX)

UI UX
Penulis: Andhika Giri Persada (Dosen Informatika UII)

Saat ini, topik User Experience (UX) cukup populer diambil sebagai topik tugas akhir mahasiswa. Sayangnya, banyak dari mereka ‘hanya’ fokus membuat antarmuka yang menarik tanpa memikirkan apa sebenarnya kebutuhan pengguna. Berhasil membuat antarmuka yang menarik tidaklah salah, tetapi itu belum cukup. Dalam bahasa Indonesia, user experience artinya pengalaman pengguna. Esensi dari pengelaman pengguna adalah proses saat pengguna mengoperasikan aplikasi dan mencoba menyelesaikan tugas. Proses cara pengguna memahami, memproses, dan mengambil keputusan, sangat krusial dalam menciptakan pengalaman yang efektif dan bermakna. Itulah proses kognitif dalam perancangan UX.

Menjelajahi Framework Norman

Don Norman, seorang pakar UX, memperkenalkan framework emosional yang mencakup tiga level pengalaman: visceral, behavioral, dan reflective. Visceral mengacu pada reaksi spontan saat pertama kali pengguna berinteraksi dengan desain, atau disebut impresi awal. Behavioral menekankan fungsi dan kegunaan dalam menyelesaikan tugas. Reflective mengukur dampak jangka panjang terhadap emosi dan kesan pengguna. Tahap ini yang menentukan apakah produk potensial digunakan pengguna dalam jangka panjang.

Sebagai ilustrasi, pada fase visceral, pengguna akan tertarik pada tampilan antarmuka yang menarik. Jika antarmuka menarik, potensi pengguna untuk mengeksplorasi lebih lanjut menjadi lebih besar. Saat pengguna mengeksplorasi, semisal alur rumit, informasi tertentu sulit ditemukan, pengguna akan segera kehilangan minat (fase behavioral). Terakhir pada fase reflective, pengguna dapat merenungkan apakah aplikasi tersebut benar-benar dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah atau tidak. Jika tidak, tinggal cari aplikasi lain yang lebih baik.

Tren Tugas Akhir: Terjebak ‘Hanya Fokus’ di Prototyping

Banyak mahasiswa fokus membuat prototipe dengan estetika yang intuitif tanpa memperhatikan kebutuhan pengguna. Desain dirancang ’satu arah’ berdasarkan persepsi desainer. Mereka jarang melibatkan pengguna, baik dalam wawancara, observasi, maupun pengujian. Saat dilakukan pun, tahapan-tahapan tersebut hanya sekedar formalitas tanpa dampak terhadap tahapan selanjutnya. Idealnya, setiap tahap merupakan respon/jawaban dari tahap sebelumnya. Tanpa itu, prototipe yang dihasilkan sering kali tidak sesuai dengan alur kognitif pengguna dan gagal menyelesaikan masalah.

Sebagai contoh, mahasiswa merancang aplikasi manajemen tugas dengan tampilan yang menarik (visceral). Namun, mereka lupa pada fokus utama aplikasi yaitu pengalaman pengguna. Semisal, bagaimana alur pengumpulan, melihat tenggat waktu, atau melihat progres pengerjaan tugas (behavioral). Tanpa validasi terhadap pengguna, aplikasi tersebut hanya memiliki impresi awal yang menawan, tetapi tanpa menawarkan solusi nyata. Tanpa beda signifikan lebih baik menggunakan aplikasi yang sudah ada semisal Google Classroom (reflective).

Fokus pada Aspek Kognitif

Untuk menghasilkan desain UX yang efektif, mahasiswa perlu memprioritaskan pemahaman mendalam terhadap pengguna. Fokus untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi pengguna. Jadikan tampilan antarmuka hanya sebagai media komunikasi visual untuk mempresentasikan ide. Berikut beberapa pendekatan yang dapat dilakukan:

1. Empati

Jangan hanya berasumsi; libatkan pengguna sejak awal. Survei, wawancara, dan observasi langsung dapat membantu memahami kebutuhan, preferensi, dan pola pikir mereka. Lakukan dengan benar dan mendalam, tidak hanya formalitas. Jika perlu, lakukan observasi dan wawancara dengan cara datang langsung ke lokasi narasumber beraktivitas. Hal tersebut akan memberikan perasaan berbeda (empati) bagi desainer kepada pengguna.

2. Kurangi Beban Kognitif

Desain harus memudahkan pengguna menyelesaikan tugas, bukan memperumit. Pahami karakter pengguna dan implementasikan ke desain; gunakan istilah yang dipahami, tata letak intuitif, dan hindari informasi yang tidak relevan. Perlu diingat, desain yang sama saat diujikan kepada pengguna dengan karakter yang berbeda dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.

3. Pengujian Iteratif

Pengujian tidak harus menunggu sampai prototipe final selesai. Mulai dengan menggunakan prototipe sederhana (semisal gambar tangan). Dapat digambar secara langsung sembari berinteraksi dengan pengguna. Lakukan uji coba secara bertahap untuk memastikan desain selaras dengan kebutuhan pengguna. Finalisasi dengan prototipe yang lebih detail untuk memastikan interaksi (aksesibilitas dan navigasi) sesuai.

4. Integrasi Konsep Framework Norman
    • Visceral: Menciptakan antarmuka yang menarik perhatian.
    • Behavioral: Memastikan aplikasi memiliki alur yang mudah dipahami dan sesuai dengan alur kerja (pikiran kognitif) pengguna.
    • Reflective: Memberikan nilai (value) pada desain yang memberi persepsi positif pengguna dalam jangka panjang.
5. Validasi

Jangan fokus hanya pada prototipe. Setiap tahap, mulai dari ide hingga prototyping, harus melibatkan validasi terhadap pengguna untuk memastikan setiap tahapan telah sesuai dengan kebutuhan. Kesalahan mengidentifikasi masalah berdampak pada kesalahan memformulasikan solusi. Kesalahan memformulasikan solusi berdampak pula pada kesalahan membuat prototipe.

Studi Kasus

Sebagai contoh, perancangan UX aplikasi manajemen tugas. Pendekatan konvensional mungkin hanya berfokus merancang antarmuka yang menarik. Namun, dengan pendekatan kognitif, desainer dapat mulai dari mengidentifikasi kebutuhan pengguna. Semisal, pengguna kesulitan mengidentifikasi beragam jenis tugas, maka diakomodasi dengan fitur pengingat tugas. Kesulitan pengguna mengingat tugas mana yang sudah dan belum selesai dikerjakan, diakomodasi dengan fitur progres pengerjaan tugas, dan sebagainya.

Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kegunaan (behavioral), tetapi juga menciptakan nilai (reflective) bahwa aplikasi membantu mereka dalam mengerjakan tugas.

Dengan menerapkan pendekatan kognitif, proses dalam desain UX menjadi lebih menarik dicermati karena tidak hanya sekedar menyediakan antarmuka yang menarik, tetapi juga menyelesaikan permasalahan.