Meluruskan Mitos Bulan Safar: Antara Takhayul dan Tauhid

Al-Quran

Dalam kehidupan masyarakat Muslim, tidak jarang kita masih menjumpai keyakinan atau tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, yang ternyata tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu contohnya adalah anggapan negatif terhadap bulan Safar. Sebagian orang masih percaya bahwa bulan Safar adalah bulan sial, penuh malapetaka, dan tidak baik untuk memulai aktivitas penting seperti pernikahan, pembangunan rumah, atau perjalanan jauh.

Padahal, dalam Islam, keyakinan semacam ini termasuk dalam bentuk tathayyur (merasa sial karena sesuatu yang tidak terbukti secara syariat), yang bertentangan dengan prinsip tauhid. Anggapan tersebut sejatinya merupakan warisan zaman jahiliah yang telah dibatalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kata Safar secara bahasa berarti “kosong” atau “bersih”. Disebut demikian karena dahulu, pada bulan ini, orang-orang Arab meninggalkan rumah mereka untuk berperang atau bepergian sehingga rumah-rumah menjadi kosong.

Namun, seiring waktu, muncul berbagai mitos dan keyakinan keliru yang menyelimuti bulan Safar ini. Di antara kepercayaan masyarakat Arab jahiliah, mereka meyakini bahwa bulan Safar membawa nasib buruk sehingga mereka menghindari kegiatan penting selama bulan ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datang meluruskan pandangan ini dalam sabdanya:

لا عَدْوَى ولا طِيَرَةَ، ولا هامَةَ ولا صَفَرَ

“Tidak ada penularan (penyakit) tanpa izin Allah, tidak ada kepercayaan terhadap burung sebagai penentu nasib, tidak ada kesialan pada burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Safar.” (HR. Bukhari, no. 5707; Muslim, no. 2220)

Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk khurafat (dongeng atau mitos) dan takhayul (kepercayaan tanpa dasar). Semua bulan memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada bulan yang membawa keberuntungan atau kesialan secara mandiri. Hanya amal perbuatan manusia yang akan menentukan nasibnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثۡنَا عَشَرَ شَهۡرٗا فِي كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوۡمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ مِنۡهَآ أَرۡبَعَةٌ حُرُمٞۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُۚ فَلَا تَظۡلِمُواْ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمۡۚ  

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At-Taubah: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa seluruh bulan adalah ciptaan Allah dan hanya empat bulan yang diberi kekhususan sebagai bulan haram (Zulkaidah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab). Safar tidak termasuk di dalamnya, yang artinya bulan ini sama mulianya dengan bulan lainnya dalam hal kesempatan beramal dan berbuat baik.

Bahkan, jika kita meyakini bahwa bulan tertentu membawa sial, ini bisa mengarah pada bentuk syirik khafi (syirik tersembunyi). Hal ini berbahaya karena secara tidak langsung meyakini bahwa ada kekuatan selain Allah yang dapat menentukan nasib seseorang.

Alih-alih menghindari aktivitas pada bulan Safar, umat Islam seharusnya menjadikannya sebagai momentum untuk memperbanyak amal ibadah, mendekatkan diri kepada Allah, dan meninggalkan segala bentuk kebodohan yang diwariskan dari masa lalu.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ فَمِن نَّفۡسِكَۚ   

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa: 79)

Dengan demikian, bulan Safar bukan bulan sial. Tidak ada larangan dalam Islam untuk menikah, bepergian, atau memulai usaha pada bulan ini. Semua bentuk usaha boleh dilakukan kapan saja selama tidak bertentangan dengan syariat.

Membongkar mitos bulan Safar bukan hanya sekadar menjelaskan sebuah tradisi salah kaprah, tetapi juga merupakan bagian dari membentengi akidah umat. Kita harus berhenti menggantungkan nasib kepada mitos, waktu, atau benda, dan kembali kepada Allah sebagai satu-satunya penentu kehidupan.

Bulan Safar, seperti bulan lainnya, adalah kesempatan berharga untuk meningkatkan kualitas diri sebagai Muslim. Isilah bulan ini dengan zikir, shalat, sedekah, menuntut ilmu, dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Karena sebaik-baik waktu bukan terletak pada namanya, tetapi pada sejauh mana kita memanfaatkannya untuk kebaikan.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Sumber: 

Penulis: Fajar Setiawan, Laboran Jurusan Informatika UII

Related posts: