Mendidik Kok Mendadak

Guru TIK Magelang berdiskusi tentang computational thinking

Oleh Zulfahmi Kesuma A

Bumi, langit, dan apa saja yang berada di antara keduanya itu diciptakan Allah dalam enam hari (masa). Begitu informasi dari Al-Qur’an dalam surat As-Sajadah ayat keempat, Allah Ta’ala berfirman,

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۖ مَا لَكُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَلِىٍّ وَلَا شَفِيعٍ ۚ أَفَلَا تَتَذَكَّرُونَ

“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. As-Sajadah: 4)

Padahal bagi Allah yang Maha Berkehendak dan Maha Berkuasa, bisa saja Allah menciptakan semuanya lebih cepat dari itu. Dalam sekejap. Kun, maka jadilah. Seperti yang ditegaskan di akhir surat Yasin (ayat 82), 

إِنَّمَآ أَمْرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيْـًٔا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.” (QS. Yasin: 82)

Jika Allah menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata “Jadilah!”. Maka jadilah sesuatu itu. Apa susahnya?

Pohon durian di belakang rumah saya setelah lima tahun ditanam, belum membuahkan hasil. Tidak saya pupuk, cuma saya wiridkan. Kok, durian?

Mungkin Allah sedang mengajarkan kita tentang proses sesuatu -wallahu a’lam-. Ada tahap-tahap yang harus dilalui agar membuahkan hasil yang diinginkan. Yang mendadak itu hanya tahu bulat di pinggir jalan; tidak ada yang tiba-tiba saja terjadi. Walaupun Allah sangat berkuasa akan hal itu. Mungkin kita saja yang kurang menyadari proses atau tahapannya sehingga beranggapan itu terjadi secara mendadak.

Mendidik Itu Proses

Mari kita simak sedikit mengenai bagaimana proses mendidik anak yang dilakukan secara bertahap. Di dalam surat Al-Fatihah ayat kedua, Allah berfirman, “Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin”. Segala puji-pujian hanya untuk Allah, Rabb semesta alam. Kata Rabb yang kita terjemahkan menjadi kata Tuhan dalam kajian tafsir tarbawi memiliki akar kata yang sama dengan kata tarbiyah. Mengantarkan sesuatu kepada bentuknya yang sempurna secara bertahap. Menumbuhkan sesuatu secara bertahap, yaitu dengan adanya proses.

Ilmu tarbiyah adalah ilmu pendidikan. Istilah guru dalam Islam juga sering disebut dengan murabbi yang bermakna pendidik. Di mana mereka para murabbi itu selalu sabar dalam menjalani proses pendidikan. Maka, ketika anak atau siswa yang menjadi objek didik malah tidak menunjukkan hasil yang sesuai dengan arah pendidikan, seperti durhaka, bandel, melawan, suka merundung, dan sebagainya, bisa jadi ada yang salah dalam proses pendidikan kita. Layaknya kode yang ditulis oleh seorang programmer atau mesin yang diciptakan mekanik, yang tidak berjalan atau berfungsi ketika dijalankan atau dinyalakan. Bisa jadi karena ada bagian yang belum terpasang atau salah posisi. Dalam hal ini, tentu saja proses pendidikan manusia jauh lebih rumit dan lebih kompleks dari proses coding atau pabrikasi mesin.

Mendidik Kok Mendadak?

Dulu, saya sering mendatangi ustaz untuk diajari wirid atau doa dalam menghadapi perilaku anak saya yang rewel. “Baca ini biar anaknya pintar, wiridkan ini agar anaknya manut.” Tentu ini bukan amalan yang buruk karena bacaannya berupa zikir dan ayat-ayat dari Al-Qur’an. Paling tidak, ketika itu hati saya menjadi lebih tenang, sikap anak juga menjadi tenang. Bagaimanapun jua Allah adalah penjaga hati kita; Dia yang membolak-balikkan hati. Semua juga atas izin dari Allah. Sebagus apa pun usaha kita, jika Allah belum mengizinkan, ya belum bisa terjadi. Bukankah doa adalah senjata orang beriman?

Namun, pada perjalanannya, saya justru menjadikan wirid dan doa sebagai cara instan yang saya anggap memberikan dampak perubahan yang cepat terhadap perilaku anak saya. Kalau anak rewel, segera saya wiridkan. Makin rewel, makin banyak wiridnya. Kurang ampuh wiridnya, maka saya ganti ustaz. Padahal dalam prosesnya, ada masalah serius yang saya acuhkan. Bukan kurang bersungguh-sungguh saya berdoa, bukan tidak ‘alim atau saleh guru yang saya tuju. Dalam mendidik, saya ternyata tidak mencontohkan hal yang ingin saya capai. Saya tidak menyadari bahwa yang harus diperbaiki lebih dahulu adalah keadaan saya sendiri.

Saya sering berkata kasar, anak meniru. Jadilah dia kasar terhadap kawannya. Saya tidak berusaha membantu pekerjaan rumah bersama istri, anak meniru dengan main tanpa peduli waktu. Nada saya sering menyuruh dan membentak, maka jadilah peniru itu anak yang sering melawan. Apa iya dengan berdoa untuk kebaikan anak, lantas mengubah sikap negatif saya? Atau dengan wirid yang begitu lama dan bacaan zikir, lantas menjadikan anak saya santun padahal saya tidak memperbaiki mesin pendidikan itu sendiri. Diri saya sendiri. Maka, saat anak rewel, melawan, punya kebiasaan buruk, dan sebagainya, baiknya telusuri akar masalahnya terlebih dahulu. Jangan-jangan, saya yang rewel sehingga ia pun menjadi rewel.

Sebuah Kisah

Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah dicurhati seorang bapak yang kesal karena kedurhakaan anaknya. Jeniusnya Umar, beliau tidak mengajarkan wirid atau bacaan tertentu untuk membalikkan keadaan anak yang durhaka itu. Umar meneliti apa yang sebenarnya terjadi. Lantas, Umar memanggil si anak dan bertanya perihal kedurhakaannya pada si bapak. Anak itu mengiyakan dan mengakui kedurhakaannya. Umar menanyakan kenapa ia melakukan hal itu. Anak itu menjawab, 

“Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak juga punya hak terhadap orang tua?”

“Iya, benar,” jawab Umar. 

“Bapakku tidak menunaikan kewajibannya terhadapku. Ia pilihkan ibuku seorang wanita Zinjiy dari asal Majusi. Ia juga memberiku nama Khanfasa` (yang artinya kumbang). Dan ia tidak pernah mengajarkanku Al-Qur’an sama sekali.”

Mendengar itu, Umar berkata pada si Bapak, “Kamu telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu.” Cerita ini ini disebutkan Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Awlad. Sanad riwayat ini bermasalah. Namun substansinya bisa diambil hikmahnya.


Mendidik itu bukan mendadak
Tak usahlah cepat-cepat
Bila anak tak taat
Tak usahlah marah berat
Kalau berniat memijat refleksi telinganya
Tak usahlah sambil ditarik dan diteriaki
Cukup pijat urat-urat syaraf kepedulian..
Sepenuh hati, dan bukan sesuka hati
Sebab telinga memang salah satu pusat refleksi
Mendidik itu bukan mendadak
Mendidik itu proses bukan hasil
Mendidik itu tawakkal bukan takkawal
Mendidik itu sholat bukan sulit
Proses itu bertahap
Hasil itu sekejap
Tawakkal itu berserah pada pengaturan-Nya
Ta’ kawal itu resah dan turut mengatur-Nya
Sholat itu lambang khusyu dan tenang
Sulit itu karena tak pernah sholat dengan tenang 

[/AFH]