ChatGPT atau Ulama?
Di era internet ini, teknologi kecerdasan buatan (AI) terus mengalami perkembangan pesat dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan, salah satunya dalam bidang pendidikan. ChatGPT adalah salah satu bentuk aplikasi AI yang sangat populer di kalangan mahasiswa karena mampu memberikan jawaban cepat atas berbagai pertanyaan, termasuk yang berkaitan dengan agama. Mahasiswa dapat memperoleh informasi secara cepat tentang konsep dasar agama Islam, mulai dari penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, hingga sejarah Nabi Muhammad dan rukun iman serta rukun Islam. Kecepatan dan kemudahan ini menawarkan solusi praktis bagi mahasiswa yang sibuk, yang seringkali membutuhkan informasi tanpa harus mengalokasikan waktu khusus untuk bertanya langsung kepada guru atau ulama.
Keterbatasan ChatGPT dalam Memahami Agama
Namun, meskipun ChatGPT dapat membantu memahami dasar-dasar agama, kita perlu memahami bahwa teknologi ini hanyalah alat, bukan guru atau ulama yang sesungguhnya. ChatGPT bekerja dengan merespons berdasarkan data yang diprogramkan, tanpa memiliki kemampuan untuk memahami agama secara mendalam atau memberikan interpretasi kontekstual. Dengan kata lain, ChatGPT tidak bisa menggantikan peran guru atau ulama dalam memberikan pemahaman agama yang bersandar pada sanad keilmuan yang terpercaya. Sebagai contoh, saat ditanya tentang tafsir mendalam atau konteks spesifik dalam ayat Al-Qur’an atau hadis, ChatGPT mungkin hanya memberikan jawaban yang terbatas pada informasi dasar atau pengertian umum, tanpa bisa menangkap substansi makna atau hikmah yang seharusnya dipahami dari sumber tersebut.
Peran Guru dalam Pendidikan Agama
Pengalaman saya sebagai musyrif dalam program pesantrenisasi Fakultas Teknologi Industri menguatkan hal ini. Selama mengajar, saya menyadari bahwa banyak mahasiswa lebih memilih bertanya langsung kepada ChatGPT untuk memahami masalah-masalah agama daripada bertanya kepada guru atau mencari referensi dari ulama yang terpercaya. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar dalam Islam, yang mengajarkan bahwa mencari ilmu agama sebaiknya dilakukan melalui perantara guru yang memiliki sanad keilmuan. Belajar agama secara langsung kepada guru merupakan praktik yang telah menjadi tradisi dalam pendidikan Islam dan bertujuan untuk memastikan bahwa ilmu yang diperoleh tidak hanya akurat, tetapi juga memiliki panduan moral yang jelas.
Bahaya Belajar Agama Tanpa Guru
Dalam Tafsir Ruhul Bayan fi Tafsir al-Quran, Abu Yazid Bustami rahimahullahu menyatakan,
“Barangsiapa yang tidak mempunyai guru, maka gurunya adalah setan.” (Tafsir Ruhul Bayan, Ismail Haqqi al-Hanafi, 5/264).
Pernyataan ini menegaskan bahwa belajar agama tanpa bimbingan guru yang berkompeten sangat berbahaya, karena berpotensi menyesatkan pemahaman seseorang. Tanpa guru, seseorang bisa saja salah dalam memahami ajaran agama, bahkan bisa terjerumus dalam interpretasi yang salah. Melalui guru yang terpercaya, seorang murid dapat memastikan bahwa ilmu yang diperolehnya bersanad dan sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Pentingnya Memahami Konteks dalam Belajar Agama
Belajar agama secara otodidak, seperti mengandalkan ChatGPT tanpa bimbingan, berisiko besar menimbulkan kesalahpahaman. Dalam banyak kasus, jawaban yang diberikan ChatGPT mungkin benar secara tekstual, tetapi kurang memahami konteks atau esensi spiritual yang lebih mendalam. Misalnya, ketika menanyakan ayat-ayat tertentu, ChatGPT hanya akan menjawab berdasarkan informasi dasar yang tersedia dalam database-nya. Jawaban ini belum tentu mencakup penafsiran yang lebih mendalam atau panduan yang diberikan oleh para ulama dan ahli tafsir, yang memahami konteks sosial dan spiritual dari teks tersebut. Oleh karena itu, menggunakan teknologi ini harus disertai dengan kesadaran untuk selalu memverifikasi dan menelaah lebih jauh jawaban yang diperoleh dari AI, serta mengingat bahwa ilmu agama sebaiknya dipelajari langsung melalui guru yang berkompeten.
Teknologi sebagai Sumber Informasi Tambahan (Bukan Sumber Utama)
Selain itu, Islam mengajarkan bahwa dalam mencari ilmu, kita tidak hanya berfokus pada sekadar memperoleh informasi, tetapi juga pada mendapatkan pemahaman mendalam yang mencakup aspek moral dan spiritual. ChatGPT dan teknologi serupa sebaiknya hanya dipandang sebagai sumber informasi tambahan yang berguna, bukan sebagai pengganti peran guru dan ulama. Mahasiswa harus tetap belajar dan mendalami agama Islam secara langsung dari guru yang dapat membimbing mereka memahami ajaran Islam secara mendalam dan sesuai dengan tuntunan yang benar. Dalam proses belajar dengan guru, tidak hanya informasi yang didapat, tetapi juga keteladanan dalam berakhlak dan beramal.
Menggunakan AI dengan Bijak dalam Belajar Agama
ChatGPT memiliki peran yang signifikan dalam menyediakan akses informasi secara cepat dan praktis. Namun, teknologi ini tetap memiliki keterbatasan, khususnya dalam hal pemahaman agama yang bersifat mendalam. Oleh karena itu, mahasiswa yang menggunakan ChatGPT harus tetap memiliki komitmen untuk belajar agama dengan bijak. Menggunakan teknologi AI dalam belajar agama harus diimbangi dengan pengetahuan dari guru yang bersanad dan buku-buku rujukan yang valid. Dengan cara ini, teknologi seperti ChatGPT dapat digunakan secara optimal sebagai alat bantu, sementara pemahaman yang mendalam dan keilmuan yang benar tetap diperoleh dari guru yang terpercaya.
Kesimpulan
Dengan demikian, meskipun ChatGPT dapat menjadi alat yang bermanfaat dalam mendukung pembelajaran, mahasiswa harus tetap mengutamakan proses belajar agama secara langsung dari guru atau ulama. Pemanfaatan teknologi ini harus dilakukan secara bijak, dan tidak boleh menggantikan sumber utama pembelajaran agama. Mahasiswa dapat tetap menggunakan kemajuan teknologi sebagai alat bantu yang praktis, tetapi tetap menjaga akurasi dan kedalaman pemahaman melalui bimbingan guru.
Penulis: Bayu Ramadhan (Mahasiswa S-1 Informatika UII)