Acuh Tak Acuh, Positif, atau Negatif? Menganalisis Respon Orang Tua terhadap Kebijakan “Belajar dari Rumah” di Masa Pandemi Covid-19
Pada bulan Maret 2020, pemerintah memutuskan untuk menghentikan pembelajaran tatap muka di sekolah untuk semua jenjang akibat dari pandemi Covid-19 yang juga terjadi di seluruh belahan dunia. Sebagai gantinya, pemerintah mencanangkan program Belajar dari Rumah (BdR) dengan mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai ujung tombaknya.
Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Pratama dan Firmansyah (2021) memberikan evaluasi atas program BdR ini dari sudut pandang orang tua siswa. Penelitian dengan judul asli “Disengaged, Positive, or Negative: Parents’ Attitudes Toward Learning From Home Amid COVID-19 Pandemic” yang dipublikasikan di jurnal internasional Journal of Child and Family Studies ini menggunakan hasil survei yang dilakukan kepada 261 orang tua siswa usia PAUD hingga SMA yang berasal dari 16 provinsi di Indonesia pada bulan Mei 2020 atau sekitar dua bulan semenjak program BdR dijalankan.
Jenis Aktivitas BdR Berdasarkan Pengamatan Orang Tua
Berdasarkan pengakuan orang tua, jenis aktivitas BdR yang dilakukan putra-putrinya masih banyak berkutat pada pemindahan ruang fisik ke ruang maya. Secara berurutan dari yang terbanyak adalah pekerjaan rumah tradisional yang kemudian dikumpulkan secara daring (61%), disusul dengan komunikasi menggunakan pesan instan seperti grup WhatsApp (58%), pengerjaan kuis dan ulangan secara daring (56%), menonton program BdR di TVRI (53%) dan video pembelajaran di YouTube dan situs lain yang sejenis (52%). Adapun penggunaan ruang khusus pembelajaran jarak jauh, baik yang menggunakan teknologi video conference seperti Zoom dan Google Meet maupun yang menggunakan learning management system (LMS) semacam Moodle dan Google Classroom berada di urutan terakhir, yakni sebesar 28%.
Tiga Kelompok Orang Tua dalam Menyikapi BdR
Dari hasil penelitian tersebut, juga ditemukan tiga kelompok orang tua siswa dalam menyikapi program BdR ini. Kelompok pertama cenderung acuh tak acuh, sekitar 23% orang tua berada dalam kelompok ini, mereka cenderung tidak ambil pusing akan seberapa bermanfaat dan seberapa berat BdR tersebut. Kelompok kedua sebesar 41% responden memiliki penilaian positif akan BdR. Orang tua di kelompok ini cenderung menilai BdR bermanfaat (efektif dan merupakan opsi terbaik di masa pandemi) dan tidak merasa BdR memberatkan mereka. Sebaliknya, kelompok terakhir yang merupakan 36% sisanya memiliki penilaian negatif akan BdR. Orang tua di kelompok ini cenderung menilai BdR berbiaya tinggi, menyulitkan, menambah beban pekerjaan, dan memaksa orang tua untuk belajar. Secara umum, bagi mereka BdR kurang efektif, bukan merupakan opsi terbaik di masa pandemi, dan tidak ideal bagi mereka selaku orang tua.Â
Peran Orang Tua dalam BdR
Dalam program BdR ini, peran orang tua menjadi sangat penting dikarenakan guru tidak lagi bisa memberikan instruksi, pendampingan, dan pemantauan pada peserta didik secara tatap muka seperti yang biasa mereka lakukan di sekolah. Keterlibatan orang tua untuk menggantikan peran guru dalam hal ini menjadi unsur penting dalam kesuksesan program ini. Sayangnya, tidak semua orang tua memiliki bekal yang memadai atau berada pada kondisi yang memungkinkan untuk menjalankan peran tersebut.Â
Dari hasil analisis yang dilakukan, kelompok orang tua yang acuh tak acuh kebanyakan mereka yang memiliki penghasilan kurang dari Rp3.000.000 per bulan sebelum terjadinya pandemi. Selain itu, orang tua yang berusia lanjut juga memiliki kemungkinan lebih besar untuk berada pada kelompok ini. Dengan kata lain, faktor usia dan ekonomi menjadi dua hal penting yang berpotensi menyebabkan sikap acuh tak acuh orang tua kepada program BdR ini. Sangat mungkin mereka sudah sangat dipusingkan dengan berbagai kebutuhan pokok di masa pandemi ini sehingga tidak ada lagi waktu dan tenaga yang tersisa untuk menjalankan peran atau bahkan sekedar ikut memikirkan program BdR yang dijalankan oleh putra-putrinya.
Di sisi lain, kelompok orang tua yang memiliki penilaian negatif kebanyakan berasal dari kalangan laki-laki yang memiliki putra-putri usia PAUD hingga SD. Sudah bukan rahasia bahwa anak usia dini dan sekolah dasar membutuhkan pendampingan yang lebih jika dibandingkan anak usia sekolah menengah. Dengan kata lain, orang tua yang memiliki anak usia PAUD-SD dituntut untuk bisa meluangkan lebih banyak waktu dan tenaga dalam proses pendampingan selama melakukan BdR jika dibandingkan mereka yang hanya memiliki putra-putri usia SMP-SMA di rumahnya. Selain itu, budaya Indonesia yang meletakkan posisi ayah sebagai tulang punggung keluarga dan ibu sebagai manajer rumah tangga juga berpotensi memainkan peran besar dalam tendensi sikap negatif yang dimiliki oleh orang tua laki-laki jika dibandingkan dengan orang tua perempuan dalam kasus BdR ini.Â
Kepemilikan Komputer di Rumah untuk Mendukung BdRÂ
Sementara itu, ada satu hal menarik yang bisa dicermati pada kelompok orang tua yang memiliki penilaian positif terhadap BdR. Berdasarkan hasil analisis yang didapatkan, kepemilikan perangkat komputer, baik berupa desktop PC maupun laptop, merupakan indikator penting. Hal yang sama tidak ditemukan pada kepemilikan perangkat bergerak, baik smartphone maupun tablet PC. Hal ini menjadi sangat menarik mengingat tidak ada perbedaan signifikan dari sisi kemampuan finansial antara orang tua di kelompok ini dengan orang tua di kelompok yang memiliki penilaian negatif atas BdR. Dengan kata lain, faktor ekonomi sangat mungkin berperan dalam orang tua yang acuh tak acuk pada BdR, namun bukan merupakan alasan di balik sikap positif atau negatif atas program BdR.Â
Berdasarkan literatur, kepemilikan komputer merupakan sebuah indikator penting akan literasi digital. Dalam konteks BdR ini, menjadi sangat masuk akal jika orang tua yang memiliki literasi digital lebih tinggi berpeluang untuk dapat memberikan dukungan dan pendampingan yang lebih baik bagi putra-putrinya dalam menjalankan BdR yang notabene sangat mengandalkan penggunaan TIK dalam pelaksanaannya. Terlebih lagi untuk aktivitas pembelajaran menggunakan Zoom/Google Meet atau Moodle/Google Classroom yang tidak bisa dijalankan di perangkat bergerak seoptimal di perangkat komputer.Â
Sikap Orang Tua atas BdR dan Implikasinya
Mengingat peran orang tua sangat penting dalam keberlangsungan BdR, maka sepatutnya semua atau setidaknya mayoritas orang tua memiliki penilaian positif akan program BdR di masa pandemi ini. Untuk itu, kedua kelompok orang tua yang masih belum memiliki penilaian positif perlu mendapatkan perhatian dan dukungan lebih yang tidak serta merta sama. Kelompok orang tua yang acuh tak acuh mungkin memerlukan perhatian khusus dalam pemenuhan kebutuhan dasar terlebih dahulu, sementara kelompok orang tua yang memiliki penilaian negatif perlu dukungan dalam hal menjalankan peran pendampingan yang diharapkan ke mereka. Perubahan model pembelajaran agar tidak terlalu memberatkan orang tua siswa adalah suatu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi jumlah orang tua dengan penilaian negatif atas BdR.
Meskipun demikian, penelitian ini juga membuka permasalahan yang lebih mendasar, yakni terkait dengan ketimpangan sosial baik dari sisi ekonomi maupun literasi digital di masyarakat yang berpotensi menjadi masalah besar di kemudian hari. Terlebih lagi jika program BdR ini harus diperpanjang karena pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai. Program intervensi khusus untuk mengentaskan ketimpangan sosial perlu menjadi prioritas. Undang-undang No Child Left Behind yang dikeluarkan oleh Kongres Amerika Serikat di tahun 2001 dapat menjadi rujukan bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat memberikan dukungan bagi siswa-siswi dari keluarga yang kurang beruntung agar tidak semakin tertinggal dalam menjalankan proses pendidikannya, terlebih lagi dikarenakan adanya pandemi yang berpotensi memperlebar jurang yang sudah ada.
Penulis: Ahmad Raf’ie Pratama
Dosen Informatika UII
Jurusan Informatika UII menerima kiriman artikel untuk ditampilkan pada Pojok Informatika dan Pojok Dakwah. Ketentuan dan prosedur pengiriman dapat dilihat pada laman berikut.