Mengungkap Pola Mobilitas Manusia Selama Pandemi COVID-19

Kemunculan wabah COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 yang pertama kali dilaporkan di Wuhan, China, telah mengubah kehidupan masyarakat secara global. Adanya peningkatan kasus yang signifikan, menyebabkan World Health Organization (WHO) menyatakan COVID-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Virus corona telah menyebar dengan cepat ke seluruh dunia sejak Desember 2019 hingga hari ini. Pada 13 Desember 2021, WHO melaporkan bahwa lebih dari 269 juta kasus yang dikonfirmasi, termasuk lebih dari 5,3 juta kematian. Pandemi telah membawa beberapa kekhawatiran terhadap kehidupan manusia dan menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan ekonomi.

Terkait jumlah kasus yang terus bertambah setiap harinya, pemerintah di seluruh dunia telah menetapkan berbagai kebijakan untuk mencegah penyebaran dan penularan virus corona. Menyikapi hal tersebut, beberapa prosedur telah diterapkan, seperti pembatasan aktivitas manusia yang mengundang berkumpulnya banyak orang, penutupan tempat umum, lockdown, kerja dan sekolah dari rumah, physical distancing, dan karantina mandiri. Selain itu, beberapa negara melarang orang asing masuk ke negaranya dan melarang warganya pergi ke luar negeri. Semua kebijakan tersebut terkait dengan pembatasan mobilitas manusia dan pembatasan interaksi antar manusia. Kebijakan tersebut diterapkan sejak penyakit COVID-19 menular melalui droplet dan penularan melalui udara dengan interaksi fisik dengan individu yang terinfeksi. COVID-19 menyebar melalui kontak fisik baik di dalam maupun di luar batas negara, menekankan pentingnya menegakkan pembatasan mobilitas manusia baik di dalam maupun di seluruh negara.

Mobilitas manusia mengacu pada pergerakan manusia (pribadi atau sekelompok orang) dari satu tempat ke tempat lain. Data mobilitas manusia dapat mencerminkan pola pergerakan manusia yang menunjukkan perilaku manusia saat melakukan aktivitasnya, seperti berjalan, mengemudi, bekerja, berada di ruang publik tertentu, menggunakan transportasi umum, dan lainnya. Pembatasan mobilitas manusia merupakan salah satu upaya nonfarmakologis, yang bertujuan untuk mengurangi interaksi sosial antar manusia dan pada akhirnya menghentikan perkembangbiakan virus. Para peneliti telah menyelidiki mobilitas manusia sebagai faktor penting yang mempengaruhi penyebaran penyakit [1]. Di Amerika Serikat, pola mobilitas sangat berkorelasi dengan tingkat peningkatan kasus COVID-19 yang lebih rendah [2]. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pembatasan mobilitas manusia merupakan strategi yang efektif untuk mengendalikan penularan virus.

Meski aturan pembatasan mobilitas manusia diberlakukan, masyarakat tetap perlu beraktivitas di luar atau di area publik. Beberapa orang harus tetap bekerja di luar, seperti bekerja di layanan publik yang tidak mungkin dilakukan dari rumah. Selain itu, masyarakat juga perlu pergi ke pasar atau pelayanan publik lainnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk alasan ini, sistem pemantauan untuk memantau, mengontrol, dan melacak pergerakan manusia di dalam area tertentu sangat diperlukan.

Data terkait mobilitas manusia sangat penting untuk mendukung pembatasan pergerakan manusia. Data mobilitas manusia mencakup semua pergerakan dari satu titik ke titik lain yang dilakukan oleh manusia dalam aktivitasnya sehari-hari. Dewasa ini, dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat memungkinkan untuk mengumpulkan data pergerakan manusia dari berbagai sumber data. Misalnya, data mobilitas manusia dapat dikumpulkan dari perangkat seluler berkemampuan GPS (misalnya, smartphone, tab, laptop), aplikasi media sosial, sensor yang diletakkan di pinggir jalan, dan data sinyal seluler.

Data mobilitas manusia dapat dikumpulkan secara otomatis karena informasi menara seluler dan sistem penentuan posisi global (GPS) tertanam di perangkat seluler. Namun, dikarenakan alasan privasi, proses monitoring mobilitas tersebut memerlukan konfirmasi dari pengguna bahwa pengguna setuju jika pergerakan mereka akan dilacak dan direkam. Proses pelacakan lokasi aktivitas pergerakan manusia dapat direkam secara real-time menggunakan aplikasi navigasi yang terpasang di ponsel. Alternatif lain mengenai dataset mobilitas manusia dapat dikumpulkan dari lokasi posting di kanal media sosial, seperti Instagram, Facebook dan Twitter. Platform media sosial menawarkan kumpulan data yang lebih mudah diakses karena kebijakan data terbuka dan location-enabled post. Terkait hal tersebut, beberapa studi epidemiologi memanfaatkan data media sosial untuk menentukan penyakit menular. Mengenai mobilitas orang selama pandemi ini, platform media sosial telah menyediakan data berharga untuk membantu meningkatkan pembatasan mobilitas manusia.

Di antara upaya melawan COVID-19, banyak dataset yang berkaitan dengan mobilitas manusia telah dirilis. Dua perusahaan besar, Google dan Apple, telah mempublikasikan data tentang mobilitas manusia berdasarkan layanan pemetaan mereka yang diambil dari Google Maps dan Apple Maps. Google melaporkan bahwa kumpulan data yang disediakan bersifat dinamis dan disediakan dalam bentuk kumpulan data. Laporan tersebut bersifat anonim dan tidak menunjukkan tempat atau lokasi dari person tertentu untuk menjaga privasi pengguna. Selanjutnya, dengan memanfaatkan sains data dan bidang keilmuan lainnya seperti bidang kesehatan, data tersebut dapat diolah menjadi informasi yang bermanfaat dan lebih berwawasan yang berguna untuk masalah penyakit.

Kumpulan data yang ada dari berbagai sumber dapat menggambarkan tren mobilitas dari waktu ke waktu menurut geografi di berbagai jenis tempat, seperti ritel dan rekreasi, toko kelontong dan apotek, taman, pusat transportasi umum, kantor, dan lingkungan perumahan. Data koordinat geolokasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk memprediksi penyebaran spatiotemporal COVID-19. Penyelidikan dimensi spasial dan temporal yang terkait dengan mobilitas manusia sangat penting karena pandangan yang luas dari perubahan mobilitas melintasi ruang dan waktu.

Banyak potensi informasi tersembunyi dari dataset yang dapat disajikan kepada pihak-pihak terkait. Misalnya, kita dapat memberikan informasi kepada pemerintah mengenai apakah ada keramaian dalam waktu tertentu di suatu wilayah tertentu atau tidak. Kita juga bisa menentukan apakah virus corona menginfeksi seseorang setelah melakukan pertemuan atau kontak di tempat tertentu. Pola pergerakan dari satu titik ke titik lainnya dapat membantu melacak interaksi antar manusia. Dengan menganalisis pola pergerakan manusia, juga dapat menginformasikan kepada kita mengenai penularan dan penyebaran virus. Selain itu, dataset tersebut dapat dimanfaatkan oleh pengambil kebijakan, pemerintah, atau tenaga medis untuk mengevaluasi kebijakan pembatasan manusia yang telah diterapkan. Pembuat kebijakan juga dapat membuat keputusan yang tepat dengan menganalisis pola dari kumpulan data mobilitas manusia. Secara keseluruhan, model pola mobilitas manusia dapat dijadikan sebagai alat evaluasi untuk melihat dampak kebijakan pembatasan mobilitas terhadap peningkatan kasus COVID-19.

Sebagai pemikiran terakhir, meskipun saat ini status pandemi telah mulai bergeser menjadi endemi, teknologi digital dari perangkat seluler tersebut harus terus diadopsi dan dikembangkan ke depannya. Semoga kombinasi teknologi dan ketersediaan data dapat memberikan manfaat terhadap kelangsungan hidup manusia di masa yang akan datang.

 

Referensi

[1]       S. Changruenngam, D. J. Bicout, and C. Modchang, “How the individual human mobility spatio-temporally shapes the disease transmission dynamics,” Scientific Reports, vol. 10, no. 1, pp. 1-13, 2020.

[2]       H. S. Badr, H. Du, M. Marshall, E. Dong, M. M. Squire, and L. M. Gardner, “Association between mobility patterns and COVID-19 transmission in the USA: a mathematical modelling study,” The Lancet Infectious Diseases, vol. 20, no. 11, pp. 1247-1254, 2020.

 


Penulis: Ahmad Fathan Hidayatullah
Dosen Informatika UII

Jurusan Informatika UII menerima kiriman artikel untuk ditampilkan pada Pojok Informatika dan Pojok Dakwah. Ketentuan dan prosedur pengiriman dapat dilihat pada laman berikut.