Pola-Pola Kepribadian dalam Al-Qur’an

Al-Quran
oleh Muhammad Sayyid Tsabit Anfaresi

Manusia adalah makhluk yang ‘berkeyakinan’, yakni meyakini adanya benar dan salah. Ia dibekali beberapa sifat untuk mendekati kekuatan yang paling sempurna, ditandai dengan adanya rasa takut, cinta, dan tunduk. Ketiganya biasa kita sebut dengan ‘perangai’ dan mungkin merupakan perangai paling awal yang ditanamkan dalam jiwa manusia [1]. 

Al-Qur’an mengemukakan sebuah contoh tentang rasa rindu manusia kepada kesempurnaan sebagaimana yang dialami Nabi Ibrahim alaihissalam. Pada kasus Nabi Ibrahim alaihissalam, kita dapat melihat gambaran tentang pencarian dan ketundukan manusia terhadap kekuatan supranatural kendatipun sebenarnya tidak mutlak. Kemudian lahirlah bentuk penyembahan terhadap fenomena-fenomena alam, matahari, dan bulan. Sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala di Surah Al-An’am (74-79), yang artinya,

    1. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan?” Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”
    2. Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin.
    3. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.”
    4. Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inikah Tuhanku?”[11] Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
    5. Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inikah Tuhanku?”, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
    6. Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.

Dari ayat di atas, kita memahami bahwa Tuhan sudah tentu mempunyai kemampuan dan bersifat kekal. Sifat kekal hanya dimiliki oleh Allah subhanahu wa ta’ala saja dan tidak mungkin dimiliki oleh makhluk. Fenomena-fenomena lain adalah lenyapnya ‘tuhan-tuhan’ itu dalam pandangan Nabi Ibrahim alaihissalam. Sementara itu, tetapnya kemampuan Sang Pencipta tercermin pada fenomena-fenomena makhluk dan dalam kekekalan wujud dan ciptaan. Ini merupakan sebab awal dan terpenting dari lahirnya kepercayaan, yaitu bahwa manusia tidak dapat merealisasikan kemanusiaannya dalam hidup kecuali dengan iman. 

Sebab, memercayai sesuatu atau mengingkarinya adalah yang memberi arti pada perbuatan manusia, apakah perbuatan itu perlu, tidak perlu, atau hanya sekadar main-main belaka. Dimensi kepercayaan ini mengorganisir hubungan manusia dengan dirinya, bahkan hingga dimensi sosial. Kepercayaan itulah yang kelak memberi posisi antara dirinya dan sesuatu. Maka, dalam hal ini manusia dibagi menjadi dua kategori, yaitu: yang percaya terhadap sesuatu dan yang mengingkarinya. Mereka diperlakukan berdasarkan prinsip dasar ini.

Ketika Al-Qur’an menjelaskan contoh manusia yang beragam dari sisi dimensi akidah pada awal surat Al-Baqarah, kata mukmin disebutkan sebanyak 4 ayat, sedang lawannya, al-kuffar, disebut 2 kali. Kemudian Al-Qur’an mengupas tentang kelompok yang kehilangan kemanusiaan –karena tidak memiliki jati diri– dalam 13 ayat. Ayat-ayat tersebut mengungkapkan kontradiksi manusia yang mengalami dehumanisasi ini dengan diri dan masyarakatnya. Al-Qur’an menyebut kelompok ini dengan sebutan al-munafiqun. Dengan demikian, Al-Qur’an mengklasifikasikan pola-pola kepribadian manusia berdasarkan keyakinan dan perilaku manusia [2].

Al-Mukminun

Jika kita kumpulkan ciri-ciri khusus orang mukmin yang terdapat dalam Al-Qur’an, kemudian kita coba mengklasifikasikannya, tentu akan kita temukan unsur esensial perilaku manusia, sebagai berikut:

  1. Beriman kepada Allah, Rasul, kitab-kitab, malaikat, hari akhir, kebangkitan, perhitungan, surga-neraka, alam gaib, dan takdir Allah (Al-Baqarah: 2-5).
  2. Beribadah kepada Allah, mendirikan salat, puasa, zakat, haji, dan jihad di jalan Allah dengan harta maupun jiwa, bertakwa, senantiasa berzikir, beristigfar, bertawakal kepada Allah, dan mempelajari Al-Qur’an (Al-Mukminun: 1-9)
  3. Berhubungan baik dengan sesama manusia, dermawan, kooperatif, bersatu, amar ma’ruf nahi munkar, memaafkan, mendahulukan kepentingan pihak lain, menjauhi hal-hal yang tidak berguna, cinta kebaikan, dan lain-lain.( Jami at-Tirmidhi 1927)
  4. Menaati dan berbuat baik terhadap kedua orang tua dan sanak kerabat, menolong keluarga dan bersedekah, dan mendidik anak secara benar. 
  5. Secara moralitas, orang mukmin terbiasa untuk sabar, lapang dada, adil, jujur, amanah, menepati janji, berilmu, luas, tawadu, berpegang teguh pada kebenaran, berjiwa kokoh, berkemauan keras, dan pandai mengendalikan diri. (Al-Hujurat: 10, An-Nahl: 90-91)
  6. Dari segi emosi serta perangai, seorang mukmin mencintai Allah, takut terhadap siksaan-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, mencintai sesama manusia, menahan amarah, tidak konfrontatif terhadap pihak lain, tidak dengki, berkasih sayang, dan selalu menyesali dosa (Al-Baqarah: 285)
  7. Dari segi intelektualitas, orang yang beriman akan berpikir tentang alam semesta dan ciptaan Allah, mencari ilmu, tidak bersikap apriori, bebas berpikir, dan berkeyakinan (Fatir:28)

Gambaran manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis ini merupakan gambaran insan kamil dalam kehidupan ini, dalam batas yang dapat dicapai manusia. Allah menghendaki agar manusia dapat berusaha mewujudkan ciri-ciri mukmin dalam dirinya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membina generasi pertama kaum mukmin atas dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil mengubah kepribadian mereka secara total serta membentuk mereka sebagai mukmin sejati yang mampu mengubah wajah sejarah dengan kekuatan pribadi dan kemuliaan akhlak mereka. Secara singkat, kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain [3].

Al-Kafirun

Dalam banyak ayat, Al-Qur’an menunjukkan perilaku orang-orang kafir. Al-Qur’an menguraikan ciri-ciri khusus mereka sebagai berikut:

  1. Tidak mengakui keesaan Allah, rasul-rasul, hari akhir, kebangkitan, dan penghisaban. Mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak memberi manfaat kepadanya dan tidak dapat menimpakan bahaya atas mereka.(Al-Kafirun:1-6)
  2. Dalam hubungan sosial dan keluarga, mereka biasa bersifat zalim, suka memusuhi orang-orang mukmin, mencegah perbuatan baik, dan memutuskan silaturahmi. (Al-Maidah: 73)
  3. Secara moralitas, kepribadian kafir suka mengingkari perjanjian, durhaka, menurutkan hawa nafsu, menipu, sombong, zalim, dan dusta.(Al-Insan: 3)
  4. Bila dilihat orang dengan kepribadian kafir mengeluarkan emosi dan perangai benci, dendam, dan dengki terhadap orang-orang yang berkepribadian mukmin atas karunia Allah yang telah dicurahkan kepada mereka.
  5. Adapun dari segi intelektualitas dan keilmuan, orang-orang dengan kepribadian ini biasanya mengalami stagnasi pemikiran, lemah bernalar, taklid buta terhadap kepercayaan-kepercayaan dan tradisi nenek moyang, dan jiwanya tertipu. (Al-Kahfi: 29)

Ciri-ciri tersebut menyebabkan mereka kehilangan keseimbangan kepribadian. Akibatnya, mereka mengalami penyimpangan ke arah pemuasan syahwat serta kesenangan lahiriah dan duniawi. Hal ini membuat mereka kehilangan satu tujuan tertentu dalam kehidupan, yaitu beribadah kepada Allah dan mengharapkan ridha-Nya untuk kebaikan dunia dan akhirat.

Al-Munafiqun

Orang-orang munafik adalah kelompok manusia yang berkepribadian lemah, sikapnya tidak jelas, posisi keimanannya juga tidak jelas. Secara ringkas, ciri-ciri khusus mereka yang banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis sebagai berikut:

  1. Tidak mengambil posisi keimanan tertentu. Mereka menampakkan keimanan jika berada di kalangan orang-orang muslim dan menampakkan kemusyrikan jika menjumpai orang-orang musyrik.(Al-Munafiqun: 1)
  2. Dalam hubungan sosial, mereka menganjurkan kemungkaran dan mencegah yang ma’ruf, suka menyebarkan fitnah dan isu-isu terhadap barisan orang-orang Islam, condong pada persengkongkolan kejahatan, bila berbicara selalu dibuat-buat agar berpengaruh pada lawan bicaranya, gemar bersumpah untuk membenarkan diri, dan sangat memperhatikan penampilan fisik untuk menarik perhatian orang dan mempengaruhinya. (At-Taubah: 67, Al-Munafiqun: 2)
  3. Secara moral, orang dengan kepribadian ini tidak percaya diri, ria, penakut, suka berdusta, kikir, suka menggunakan kesempatan dalam kesempitan, dan mengikuti hawa nafsu. (Al-Ma’mun: 4-7, An-Nisa: 58, An-Nahl: 91)
  4. Menilai dari perangai serta emosi yang sering dikeluarkan, orang munafik biasanya takut terhadap orang-orang mukmin maupun orang musyrik, pengecut, takut mati, serta membenci dan mendengki orang-orang muslim. (Sahih Muslim 2777)
  5. Orang-orang munafik secara intelektualitas dan keilmuan selalu bersikap tidak jelas, ragu-ragu, tidak mampu memberikan penilaian atau keputusan, dan tidak dapat berpikir lurus. (Sahih Muslim 2784a)

Ciri kepribadian orang munafik yang paling mendasar adalah kebimbangannya antara keimanan dan kekafiran serta ketidakmampuannya membuat sikap yang tegas dan jelas berkaitan dengan keyakinan bertauhid.

Sebagai penutup, manusia memiliki potensi untuk menjadi pribadi yang baik dan buruk. Dengan potensi tersebut, manusia yang paling berbahaya di antara ketiganya adalah manusia dengan kepribadian ‘munafik’ disebabkan kepribadian ini tidak memiliki kejelasan. Ketidakjelasan ini bisa membahayakan bagi orang lain. Maka, jauhilah orang-orang yang memiliki sikap seperti ini dan mulailah ikuti teladan dari orang-orang berkepribadian mukmin.

Kemampuan manusia yang dapat saling memengaruhi dapat berkesinambungan dengan hati, akal, dan jiwa. Hati manusia yang dalam kondisi sehat (qalbun salim) akan mudah menangkap motivasi yang mendorong pada kebaikan. Kemampuan hati akan lebih terarah jika akal manusia dapat bekerja dengan pertimbangan matang dari kecerdasan spiritual, emosional, dan logika yang benar. Hati yang sehat dan akal yang benar secara otomatis menggerakkan dorongan jiwa untuk mengarah pada kebaikan perilaku dan memanajemen kebutuhan fisik berdasar dorongan ruhiah.

Referensi

[1] Mursi, Abdul Hamid. SDM yang Produktif: Pendekatan Al-Quran dan Sains. Gema Insani Press, 1997.

[2] Zubairi, Zubairi. “Pola Kepribadian Manusia Perspektif Al-Qur’an (Kajian Surat Al-Baqarah Ayat 2-14).” JIQTA: Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir, vol. 2, no. 1, 2023, pp. 29-44, https://doi.org/10.36769/jiqta.v2i1.340.

[3] Suparlan, Suparlan. “Psikologi dan Kepribadian Perspektif Al-Qur’an.” HUMANIKA, vol. 8, no. 1, 2008, https://doi.org/10.21831/hum.v8i1.21005.