Mulur Mungkret Kebahagiaan
Dalam perjalanan kembali ke Yogyakarta, tempatnya menempuh ilmu, gadis itu menatap jendela kereta malam hari. Gelap, seperti juga rasa gundah di hatinya.
Banyak tanya dan resah bermunculan di benaknya, bermuara pada pertanyaan, ‘Mengapa hidup terasa sulit?’
Bukan, bukan berarti ia ingin mengakhiri hidup, ia hanya sedang merasa gundah dengan segala permasalahan hidupnya.
Dari jendela kereta, lampu-lampu berkelebatan, sementara di langit bintang dan bulan menemani perjalanannya. Bukan gulita pekat, selalu ada kerlip cahaya yang tampak. Begitu pula isi hatinya, bukan kegundahan mutlak, selalu ada yang ia syukuri dalam hidupnya. Tapi tidak pula terang benderang seperti siang hari, seperti kehidupan teman-temannya. Atau begitulah yang ia kira..
Apakah kamu pernah berada pada posisi seperti gadis itu? Saat entah mengapa ada rasa gundah dan ragu, yang sulit untuk didefinisikan. Benar, pastilah semua manusia pernah (atau sedang) menjumpai masalah dalam hidupnya. Tidak ada manusia yang tanpa masalah. Manusia berjuang untuk menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, tetapi apakah kebahagiaan itu?
Filosofi Mulur Mungkret Ki Ageng Suryomentaram
Ki Ageng Suryomentaram merupakan putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ia kemudian melepas kebangsawanannya untuk hidup menjadi rakyat biasa sebagai petani. Ia menulis buku Kawruh Begja Sawetah, yang berisikan nasehat menuju jalan kebahagiaan.
Filosofi Ki Ageng Suryomentaram yang dikenal dengan Mulur Mungkret berkaitan dengan suatu keinginan/karep manusia. Saat manusia mencapai keinginannya, keinginannya akan mulur, menginginkan yang lebih. Misalnya saat ingin memiliki motor. Setelah dimiliki, muncul rasa ingin memiliki mobil. Adapun saat keinginannya tidak tercapai, maka akan mungkret diiringi rasa kecewa.
Maka, kita perlu mawas diri dalam mengelola keinginan kita. Jangan terlalu berlebihan mulur (tamak), jangan pula terlalu berlebihan mungkret (kecewa). Ki Ageng Suryomentaram menyebut dalam bukunya,
“mboten wonten barang ingkang pantes dipun padosi kanti mati-matian, utawi dipun ceri-ceri dipun tampik kanthi mati-matian.”
Saat memperoleh pencapaian/tercapainya keinginan, tidak perlu terlalu berlebihan dalam merasa senang karena keinginan akan mulur lagi. Begitu pula saat tidak dapat mencapai keinginan, juga tidak perlu berlebihan dalam merasa kecewa karena keinginan akan mungkret lagi.
Berhasil memperoleh IPK 3.5, berhasil memperoleh 100 juta pertama, berhasil menang kompetisi Mobile Legend, berhasil membeli sepatu idaman, berhasil jalan-jalan ke Raja Ampat.
Gagal melamar kekasih, gagal memperoleh beasiswa studi lanjut, gagal menjaga berat badan ideal, gagal pulang kampung pekan ini.
Berbagai peristiwa terjadi silih berganti, tercapai dan tidak tercapainya keinginan berkelindan membentuk cerita hidup. Dan di sana, mulur mungkret karep terjadi. Bahagia dan kecewa silih berganti.
Apabila kebahagiaan didasarkan pada tercapainya keinginan, berdasarkan filosofi mulur mungkret, kebahagiaan itu tidak akan langgeng karena keinginan manusia bersifat mulur mungkret. Lantas, bagaimana agar bahagia kita menjadi sejati?
This too shall pass
Adagium “This too shall pass” mengingatkan kita bahwa tidak ada yang kekal dalam kehidupan manusia. Seperti filosofi mulur mungkret, semua hal yang menyenangkan akan berakhir, sebagaimana semua hal yang menyedihkan juga akan berakhir. Matahari yang terbit pada akhirnya tenggelam. Gelapnya malam juga akan berakhir saat fajar tiba. Begitulah, tidak ada yang abadi dalam hidup manusia.
Selaras dengan nasehat Ki Ageng Suryomentaram, saat kita menghadapi kesulitan hidup, yakinlah bahwa this too shall pass. Akan ada terang setelah kegelapan. Jangan terlalu bersedih dan terpuruk karena kesulitan ini akan berakhir. Pun saat kita memperoleh kesuksesan dan kesenangan, tanamkan pula bahwa this too shall pass. Kesenangan ini tidak akan selamanya ada sehingga jangan takabur dan berlebihan dalam menyenanginya karena kesenangan ini pun suatu saat akan berakhir.
Mantra this too shall pass dapat diucapkan untuk mengingatkan manusia pada pesan Ki Ageng Suryomentaram, “mboten wonten barang ingkang pantes dipun padosi kanti mati-matian, utawi dipun ceri-ceri dipun tampik kanthi mati-matian.” Tidak perlu overly happy atau overly sad tentang suatu hal dalam dunia yang fana ini. Mengelola karep/keinginan agar tidak berlebihan, tidak berlebihan mulur hingga serakah dan tidak berlebihan mungkret hingga kecewa.
Karena dunia ini memang tidak kekal. Urip mung mampir ngombe, kata orang Jawa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan tentang kehidupan di dunia,
“Aku dalam kehidupan di dunia ini bagaikan seorang penunggang kendaraan yang berhenti sejenak untuk istirahat, bernaung di bawah pohon. Sesudah itu berangkat lagi dan meninggalkan pohon itu.” (Hasan sahih: HR. Ahmad, I/391, 441 dan at-Tirmidzi, no. 2377; Ibnu Majah, no. 4109 dan Al-Hakim, IV/310 dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.” Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 438).
Iya, sesebentar itu. Sesebentar kita meneguk minuman dalam gelas kita. Sesebentar kita beristirahat pada naungan pohon dalam perjalanan kita. Sesebentar itu pula kita di sini, hingga akhirnya kita akan pulang.
Sabar dan Syukur
Lantas, bagaimana menjadikan bahagia kita sejati? Yang meski karep terus dinamis mulur dan mungkret, meski semua hal akan berlalu, bagaimana agar bahagia kita menetap di hati, sakinah.
Dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 2999)
Kuncinya ternyata ada dua, sabar dan syukur. Saat keinginan tercapai, bukan selebrasi berlebihan, tetapi syukur yang dipanjatkan. Pun saat keinginan gagal tercapai, bukan kecewa berlebihan, tetapi sabar yang dipanjangkan. Pada apapun yang ia sukai dalam kehidupan, seorang mukmin akan bersyukur, dan pada apapun yang tidak ia sukai dalam kehidupan, seorang mukmin akan bersabar.
Sahabatmu tukang ngomel? Bersabarlah padanya.
Dirimu minder mau ikut acara ramai-ramai? Bersabarlah di sana.
Uang makan hari ini sisa sepuluh ribu, padahal hari masih pagi? Bersabarlah dengan nasi kerupuk.
Proyek tugas besar menumpuk dan melelahkan? Bersabarlah mengerjakannya.
—-
Minggu ini jalan-jalan ke luar negeri setelah saving up setahun lebih? Bersyukurlah atas rizki dari Allah, jangan sombong.
Kamu dapat uang jajan tambahan untuk bulan ini? Bersyukurlah atas rizki dari Allah, jangan foya-foya.
Keluargamu hangat dan baik? Bersyukurlah atas karunia Allah ini, jangan berkata kasar pada kedua orang tuamu, sayangi mereka selalu.
Nilai kuismu sempurna? Bersyukurlah atas kecerdasan yang Allah beri padamu.
Saat kita menanamkan sabar dan syukur, ternyata meski karep kerap mulur mungkret, bahagia kita sakinah di hati.
Mudah sekali ya saya menulis. Kenyataannya, melakukannya tidak semudah ketikan jari di keyboard. Sabar dan syukur perlu diasah dan diasuh dalam hati, agar kebahagiaan sakinah di sana, menetap dan tentram, tidak goyah meski senang dan sedih silih berganti. Jangan marah pada orang yang berkomentar, “sabar ya..”. Memang itulah salah satu kunci kebahagiaan. Bukan berarti seseorang yang bahagia tidak pernah merasakan kesedihan. Ia merasakannya, sungguh. Namun, ia bersabar atasnya..
*)Tulisan ini special untuk seseorang yang sering merenungi makna kebahagiaan dan sulitnya hidup. Just keep going, because this too shall pass 🙂
Penulis: Sheila Nurul Huda (Dosen Informatika UII)