Dalam Islam, kehidupan dunia dan akhirat merupakan dua konsep yang berhubungan, tetapi memiliki peran yang berbeda. Dunia adalah tempat yang sementara, tempat di mana manusia diuji untuk menuju kehidupan yang lebih kekal, yaitu akhirat. Islam mengajarkan kita agar memahami dan mempersiapkan keduanya dengan baik.

Kehidupan Dunia dalam Islam

Allah Swt. berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Al ‘Imran:14).

Ayat tersebut menggambarkan kehidupan dunia yang menyenangkan dan menarik bagi manusia. Ini menjelaskan bahwa manusia menyukai berbagai bentuk kenikmatan duniawi, di mana kehidupan dunia seharusnya tidak menjadi tujuan utama karena tujuan utama yang lebih mulia adalah kehidupan akhirat yang abadi.

Allah Swt. juga berfirman:

بَلۡ تُؤۡثِرُوۡنَ الۡحَيٰوةَ الدُّنۡيَاۖ ١٦ وَالۡاٰخِرَةُ خَيۡرٌ وَّ اَبۡقٰىؕ‏ ١٧

Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS Al-A’la: 16-17).

Ayat ini menunjukkan bahwa banyak orang sering kali lebih memilih kenikmatan dunia, padahal akhirat adalah kehidupan yang lebih baik dan kekal. Islam mengajarkan bahwa saat kita hidup di dunia, fokus utama kita haruslah akhirat karena di sanalah kita akan hidup selamanya.

Kehidupan Akhirat Menurut Islam

Read more

Hidup di era digital yang semakin canggih memang memberi banyak manfaat bagi kita, sepertinya mudahnya mengakses internet. Namun, tidak hanya memberikan manfaat, adanya perkembangan teknologi ini juga membuka pintu ancaman, salah satunya yaitu penipuan online atau scam. Penipuan online ini marak terjadi di lingkungan masyarakat dan kian meresahkan karena para pelaku semakin licik dan memanfaatkan berbagai media digital untuk memangsa korbannya.

Maka, penting bagi kita untuk mengenali dan memahami berbagai macam bentuk scam agar kita dapat menjadi lebih waspada. Berikut merupakan beberapa bentuk scam yang sering terjadi di media digital serta cara menghindarinya menurut perspektif Islam.

Beberapa Scam Populer

1. Phishing

Merupakan salah satu modus penipuan yang sering terjadi di sekitar kita. Biasanya, pelaku akan menyamar sebagai seseorang yang bekerja di lembaga resmi, seperti bank atau institusi pemerintahan. Setelah itu, pelaku akan meminta korban untuk mengisi data atau informasi pribadi mereka di sebuah situs web yang sengaja mereka buat semirip mungkin dengan situs web aslinya untuk meyakinkan korban.

Contoh nyata dari kasus ini adalah ketika seseorang menerima sebuah e-mail dari sebuah bank yang menginformasikan korban bahwa mereka sedang mengalami suatu masalah dan korban diminta untuk melakukan verifikasi data. Dengan cara tersebut, korban akan percaya dan memberikan informasi penting kepada pelaku penipuan tanpa sadar.

2. Investment Scam

Read more

Dalam kehidupan sehari-hari, semua Muslim dihadapkan pada dua prinsip penting dalam kehidupannya, yaitu: tawakal (berserah diri kepada Allah Swt.) dan ikhtiar (berusaha dengan maksimal). Kedua prinsip ini saling melengkapi dan juga harus seimbang agar kehidupan sehari-hari dapat dijalani dengan penuh keyakinan dan juga kedamaian.

Pentingnya Tawakal

Tawakal bisa juga diartikan sebagai sikap pasrah dan menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt. setelah melakukan segala usaha. Namun, tawakal tidak berarti juga berdiam diri tanpa berbuat apa-apa. Seorang Muslim tetap diwajibkan untuk berusaha karena ikhtiar adalah bentuk dari tanggung jawab kita sebagai hamba Allah Swt. yang diberikan akal dan juga kemampuan untuk bertindak.

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. menyukai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran: 159)

Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa sebelum bertawakal, seorang Muslim harus terlebih dahulu mengambil keputusan dan berusaha. Setelah berusaha, barulah kita serahkan hasilnya kepada Allah Swt. karena hanya Allah Swt. lah yang memiliki kuasa atas segala sesuatu.

Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qudha’i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Read more

Nabi Muhammad saw. adalah manusia yang dipilih oleh Allah sebagai nabi terakhir, penutup seluruh rangkaian nabi yang diutus kepada umat manusia. Kehidupan beliau dipenuhi dengan akhlak mulia yang menjadi teladan sempurna bagi seluruh umat. Tidak hanya berperan sebagai seorang nabi, beliau juga merupakan pemimpin, pembawa risalah kebenaran, pendidik, dan pembimbing umat menuju jalan yang diridai Allah. Akhlak beliau yang indah tercermin dari tutur katanya yang lembut serta caranya memperlakukan orang lain dengan sebaik-baiknya. Rasulullah tidak hanya mengajarkan ajaran Islam secara menyeluruh, tetapi juga mencontohkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Shiddiq

Rasulullah saw. adalah sosok yang selalu jujur (shiddiq), baik dalam perkataan maupun perbuatan. Beliau selalu berbicara dan bertindak sesuai kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Kejujuran ini menjadi prinsip dalam kepemimpinan beliau, di mana setiap perkataan dan tindakan selalu konsisten tanpa perbedaan. Rasulullah juga mengajarkan pentingnya kejujuran dalam hidup karena kejujuran membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kita menuju surga. Beliau menekankan bahwa kejujuran adalah landasan bagi kehidupan yang baik, sedangkan kebohongan membawa kepada kehancuran. Keutamaan ini ditegaskan dalam dalam Al-Qur’an dan sabda beliau. Rasulullah saw. senantiasa bertindak adil dan jujur kepada semua orang, menjadikannya pemimpin yang dihormati dan dicintai oleh umatnya.

Amanah

Read more

Kesabaran adalah salah satu akhlak yang sangat ditekankan dalam Islam. Dalam Al-Qur’an, kesabaran disebutkan dalam banyak ayat sebagai sifat yang mulia dan menjadi kunci bagi seseorang dalam menghadapi ujian hidup. Sebagai manusia, kita sering dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang besar maupun yang kecil. Tantangan ini bisa datang dalam bentuk kesulitan ekonomi, masalah keluarga, atau bahkan hal-hal sepele seperti kemacetan di jalan. Namun, apakah kita sudah cukup bersabar dalam menghadapinya?

Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 153).

Ayat ini menegaskan bahwa kesabaran tidak hanya membuahkan hasil, tetapi juga mendatangkan dukungan langsung dari Allah. Dengan bersabar, kita menunjukkan keteguhan iman dan keyakinan bahwa setiap kesulitan pasti diikuti dengan kemudahan, seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Al-Insyirah ayat 6,

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

Mengatasi Ujian dengan Kesabaran

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak ada manusia yang luput dari ujian. Ujian ini bisa datang dalam berbagai bentuk, kesulitan finansial, sakit, hingga kehilangan orang yang dicintai. Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita untuk bersabar dalam menghadapi ujian dan meyakini bahwa setiap ujian yang diberikan Allah adalah bentuk kasih sayang-Nya.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: Read more

Lisan adalah salah satu anggota tubuh yang kecil, tetapi peranannya dalam kehidupan sehari-hari sangatlah besar. Dengan lisan, seseorang bisa menyebarkan kebaikan, tetapi juga bisa menyebarkan keburukan. Agama kita menuntun seorang Muslim untuk menjaga lisannya. Setiap kata yang diucapkan dapat membawa kebaikan, tetapi juga dapat menimbulkan kerusakan jika tidak dijaga dengan baik.

Tuntunan Al-Qur’an dalam Menjaga Lisan

Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. memberikan tuntunan agar umat Islam menjaga lisannya dari perkataan yang tidak baik, seperti menggunjing dan fitnah. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 12, Allah berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka (kecurigaan), sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”

Ayat ini menegaskan bahwa menggunjing dan berbicara buruk tentang orang lain diibaratkan seperti memakan bangkai saudara sendiri. Tentu saja kita tidak mengingingkan hal tersebut. Islam menganjurkan umatnya untuk berkata baik atau lebih baik diam jika tidak ada hal baik yang bisa diucapkan.

Hadis Rasulullah tentang Perkataan Baik

Read more

Oleh: Ahmad Fathan Hidayatullah

Selama kita hidup, kita tidak akan lepas dari berbagai macam ujian dan fitnah yang menguji keimanan kita. Allah ta’ala berfirman,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Q.S. Al-Ankabut: 2)

 

وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَٰذِبِينَ

“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Q.S. Al-Ankabut: 3)

Kedua ayat di atas menegaskan bahwa ujian pasti Allah berikan kepada manusia yang beriman untuk menampakkan siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang berdusta dengan keimanannya. Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Ighatsatul Lahafan[1] bahwa ujian atau fitnah bagi manusia terbagi menjadi dua, yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat. Read more

oleh Muhammad Sayyid Tsabit Anfaresi

Manusia adalah makhluk yang ‘berkeyakinan’, yakni meyakini adanya benar dan salah. Ia dibekali beberapa sifat untuk mendekati kekuatan yang paling sempurna, ditandai dengan adanya rasa takut, cinta, dan tunduk. Ketiganya biasa kita sebut dengan ‘perangai’ dan mungkin merupakan perangai paling awal yang ditanamkan dalam jiwa manusia [1]. 

Al-Qur’an mengemukakan sebuah contoh tentang rasa rindu manusia kepada kesempurnaan sebagaimana yang dialami Nabi Ibrahim alaihissalam. Pada kasus Nabi Ibrahim alaihissalam, kita dapat melihat gambaran tentang pencarian dan ketundukan manusia terhadap kekuatan supranatural kendatipun sebenarnya tidak mutlak. Kemudian lahirlah bentuk penyembahan terhadap fenomena-fenomena alam, matahari, dan bulan. Sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala di Surah Al-An’am (74-79), yang artinya,

    1. Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan?” Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”
    2. Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin.
    3. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.”
    4. Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inikah Tuhanku?”[11] Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
    5. Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inikah Tuhanku?”, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
    6. Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.

Dari ayat di atas, kita memahami bahwa Tuhan sudah tentu mempunyai kemampuan dan bersifat kekal. Sifat kekal hanya dimiliki oleh Allah subhanahu wa ta’ala saja dan tidak mungkin dimiliki oleh makhluk. Fenomena-fenomena lain adalah lenyapnya ‘tuhan-tuhan’ itu dalam pandangan Nabi Ibrahim alaihissalam. Sementara itu, tetapnya kemampuan Sang Pencipta tercermin pada fenomena-fenomena makhluk dan dalam kekekalan wujud dan ciptaan. Ini merupakan sebab awal dan terpenting dari lahirnya kepercayaan, yaitu bahwa manusia tidak dapat merealisasikan kemanusiaannya dalam hidup kecuali dengan iman.  Read more

Sebagai warga negara yang baik, kita tentu ingin bahwa negara Indonesia menjadi negara yang terus maju ke arah yang lebih baik, aman, tenteram, adil, dan makmur. Kita juga tentu berharap agar negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang bertakwa, yang dapat menjalankan roda kepemimpinan yang berintegritas. Ketika kita menginginkan pemimpin yang baik, terlebih dahulu hendaklah kita berkaca pada diri kita sendiri. 

Merenungi Firman Allah tentang Keadilan Kepemimpinan

Marilah kita coba renungkan firman Allah ta’ala berikut,

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّى بَعْضَ ٱلظَّٰلِمِينَ بَعْضًۢا بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al-An’am: 129)

Mengutip dari tafsir “Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an” [1], dijelaskan bahwa ketika rakyat melakukan perbuatan zalim, berbuat kerusakan, dan melalaikan kewajiban, orang-orang zalim akan diangkat menjadi penguasa mereka. Akibatnya, mereka akan mendapatkan keburukan karena tidak memenuhi hak-hak Allah dan juga hak-hak para hamba Allah. Namun sebaliknya, jika senantiasa istikamah dalam kebaikan, niscaya Allah akan memperbaiki kondisi mereka dan mengangkat pemimpin yang adil bagi mereka.

Oleh karena itu, sebelum harapan kita untuk mendapatkan pemimpin yang baik dapat terwujud, marilah kita bersama-sama introspeksi diri terlebih dahulu. Ada sebuah kaidah mengungkapkan,

كَمَا تَكُوْنُوْنَ يُوَلَّى عَلَيْكُمْ

“Bagaimanapun keadaan kalian (rakyat), maka begitulah keadaan pemimpin kalian.”

Kisah Ali bin Abi Thalib dan Pentingnya Kualitas Rakyat

Read more

Kemerdekaan adalah salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah ta’ala kepada umat manusia. Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Saat ini, pada 17 Agustus 2024, bangsa Indonesia telah menikmati kemerdekaan hingga 79 tahun lamanya. Kita patut bersyukur bahwa bangsa ini masih tegak berdiri hingga saat ini.

Perjuangan Menuju Kemerdekaan

Perlu kita ketahui bahwa kemerdekaan yang telah diraih bukanlah sesuatu yang datang dengan mudah. Atas izin Allah, kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan dan pengorbanan para pahlawan demi membela serta mempertahankan tanah air. Oleh karena itu, sebagai umat Islam, mensyukuri nikmat kemerdekaan bukan hanya sebatas ucapan syukur, tetapi juga harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang mencerminkan ketaatan kita kepada Allah ta’ala.

Pentingnya Bersyukur atas Nikmat Kemerdekaan

Allah ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an: Read more