oleh: Kholid Haryono, ST., M.Kom. 

Dalam kehidupan modern, jasa menjadi fondasi banyak aktivitas ekonomi dan sosial. Dunia pendidikan, kesehatan, konsultasi, dan administrasi, semuanya bergantung pada komitmen terhadap perjanjian kerja yang telah disepakati. Namun, realitas memperlihatkan bahwa banyak orang tergoda untuk mengambil jalan pintas: mengurangi usaha, memperkecil pengorbanan, tetapi berharap tetap mendapatkan hasil maksimal. Islam sangat tegas dalam mengajarkan keadilan dalam setiap bentuk transaksi, baik yang berkaitan dengan barang maupun jasa. Prinsip ini memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an, salah satunya terdapat dalam Surah Al-Muṭaffifīn ayat 1–3, yang secara khusus mengecam orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan:

وَيْلٌۭ لِّلْمُطَفِّفِينَ ﴿١﴾ ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكْتَالُوا عَلَى ٱلنَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ﴿٢﴾ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣) 

Artinya:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.”
(QS. Al-Muthaffifin: 1–3)

Ayat ini mengandung peringatan keras bagi siapa pun yang tidak berlaku adil dalam transaksi, dan menekankan pentingnya kejujuran serta tanggung jawab dalam interaksi ekonomi.

Hakikat Tanggung Jawab dalam Transaksi Jasa

Read more

Sedekah merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah) karena dengan bersedekah kita menunjukkan ketulusan dan keikhlasan dalam beramal hanya karena-Nya. Sedekah adalah untuk mencari rida Allah, bukan untuk dipuji manusia, sehingga sedekah menjadi salah satu bentuk ibadah yang sangat mendekatkan diri kepada-Nya.

Banyak amalan yang termasuk dalam sedekah. Itu menjadi peluang besar bagi kita untuk mencintai amalan yang mulia ini. Jika kita benar-benar ikhlas dalam bersedekah, Allah akan berikan balasan yang lebih kepada kita.

Berikut beberapa keutamaan bersedekah:

1. Mendekatkan Diri kepada Allah

Dengan bersedekah, kita telah menjalankan perintah Allah seperti yang ada dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 92,

لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ

Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali ‘Imran: 92)

Dengan mengamalkan ayat ini, kita tidak hanya menunjukkan kepatuhan kepada Allah, tetapi juga mendekatkan diri kepada-Nya melalui amal yang ikhlas dan penuh kesungguhan.

2. Membersihkan Harta

Read more

Penulis: Feri Wijayanto (dosen Jurusan Informatika UII)

Bulan Ramadan adalah bulan yang dijanjikan Allah Swt. sebagai waktu penuh rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka. Di dalamnya, pintu surga dibuka lebar, pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu (HR. Bukhari & Muslim). Allah Swt. berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan atas petunjuk itu, serta pembeda (antara kebenaran dan kebatilan).” (QS. Al-Baqarah: 185).

Ramadan juga terbagi dalam tiga fase utama yang penuh makna:

  1. 10 Hari Pertama: Rahmat Allah melimpah.
  2. 10 Hari Kedua: Ampunan Allah terbentang.
  3. 10 Hari Terakhir: Pembebasan dari api neraka (HR. Ibn Khuzaimah).

Setiap fase ini mengajak kita untuk terus meningkatkan kualitas ibadah dan refleksi diri (muhasabah). Namun, bagaimana jika kita menengok konsep deep learning—sebuah teknologi yang belajar dari kesalahan melalui backpropagation—sebagai analogi untuk memaknai muhasabah? Jika mesin mampu memperbaiki diri dari kesalahan, mengapa kita sebagai manusia tidak?

Muhasabah: “Backpropagation” Spiritual Manusia

Dalam deep learning, algoritma belajar dengan menganalisis kesalahan (error) lalu menyesuaikan bobot parameternya melalui proses backpropagation. Semakin sering dilatih, semakin akurat model tersebut. Begitu pula manusia: muhasabah adalah mekanisme “pelatihan” spiritual untuk mengoreksi kesalahan, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada Allah.

Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18).

Rasulullah saw. juga mengingatkan:

الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
“Orang yang cerdas adalah yang mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi).

Seperti deep learning, muhasabah memerlukan kesadaran akan kesalahananalisis penyebab, dan komitmen untuk memperbaiki. Namun, manusia memiliki kelebihan: hati (qalb) yang bisa tergerak oleh taubat dan rahmat Allah.

Fase Ramadan dan Peluang Muhasabah

Read more

Sebagai seorang Muslim, tentu kita ingin terus memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas keimanan serta ibadah kita. Bulan Ramadan adalah kesempatan emas untuk melatih diri agar menjadi pribadi yang lebih baik, lebih dekat kepada Allah, dan lebih istikamah dalam beramal saleh. Jangan sampai Ramadan berlalu begitu saja tanpa ada peningkatan dalam kualitas ibadah dan spiritual kita. Tanpa perencanaan yang matang, Ramadan hanya akan menjadi rutinitas tahunan tanpa arah yang jelas. Oleh karena itu, kita harus berupaya mengisi Ramadan dengan ibadah yang maksimal agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ

Celakalah bagi seseorang yang mendapati bulan Ramadan hingga berlalu tanpa diampuni dosanya. (HR. Tirmidzi no. 3545)

Syaikh Manshur As Salimy pernah mengingatkan, “Betapa banyak orang yang tahun lalu berpuasa, namun saat ini mereka sudah tidak lagi bersama dengan kita. Tidakkah kita mengambil pelajaran, padahal kita masih hidup? Berbekallah dengan amal saleh dan perbanyaklah amal saleh, berhentilah dari perbuatan dosa dan kesombongan.”

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

تالله لو قيل لأهل القبور تمنوا لتمنوا يومًا من رمضان

Demi Allah, seandainya dikatakan kepada penghuni kubur: ‘Berangan-anganlah!’, niscaya mereka akan berangan-angan untuk berada di satu hari pada bulan Ramadan. (At-Tabshirah, 2/78)

Bertemu dengan bulan Ramadan adalah sebuah kenikmatan besar yang Allah berikan kepada kita. Banyak orang yang tahun lalu masih bisa menjalani ibadah Ramadan, tetapi kini mereka telah tiada. Kita yang masih diberikan kesempatan oleh Allah seharusnya tidak menyia-nyiakannya. Maka dari itu, marilah kita manfaatkan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya. Ramadan bukan sekadar menjalankan ibadah puasa, tetapi juga momentum untuk memperbaiki diri, memperkuat keimanan, dan meningkatkan amal kebaikan. Read more

Penulis: Irving V. Paputungan (Dosen Jurusan Informatika UII)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada berbagai situasi yang menuntut untuk mengambil sikap dan keputusan. Salah satu hal yang penting adalah bagaimana seorang muslim menyikapi informasi dan kejadian di sekitar. Islam mengajarkan kita untuk selalu berpikir positif dan berbaik sangka (husnuzan) terhadap sesama. Namun, seorang muslim juga tidak dilarang untuk bersikap waspada dan berhati-hati dalam menghadapi potensi bahaya.

Berpikir negatif atau suuzan adalah perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Suuzan dapat merusak hati dan pikiran, serta menimbulkan berbagai masalah dalam hubungan sesama manusia. Namun, bukan berarti kita sebagai seorang muslim harus bersikap naif dan mengabaikan potensi ancaman yang ada. Waspada adalah sikap yang penting untuk menjaga diri dan orang lain dari bahaya.

Lantas, bagaimana dapat membedakan antara berpikir negatif dan waspada? Bagaimana dapat bersikap seimbang antara berbaik sangka dan berhati-hati? Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan perspektif Islam.

Apa itu Suuzan?

Berpikir negatif atau suuzan adalah prasangka buruk terhadap orang lain tanpa adanya bukti yang jelas. Dalam Islam, suuzan sangatlah terlarang karena dapat menimbulkan fitnah, permusuhan, dan merusak hubungan persaudaraan. 

Allah ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa” (QS. Al-Hujurat:12).

Ayat ini dengan jelas melarang kita sebagai muslim untuk berprasangka buruk terhadap orang lain karena sebagian prasangka itu adalah dosa. Suuzan muncul dari hati yang kotor akibat lemahnya keimanan, tidak ikhlas, tidak merasa cukup, tidak bersyukur, dan tidak berserah diri kepada Allah ta’ala.

Pengertian Waspada

Read more

Pendahuluan

Sebagai seorang muslim, memahami kalender Hijriah sangatlah penting. Kalender ini bukan sekadar sistem penanggalan, tetapi juga panduan utama dalam menjalankan ibadah dan mengenang peristiwa penting dalam sejarah Islam. Dengan memahami bulan-bulan dalam kalender Hijriah, seorang muslim bisa lebih terhubung dengan ajaran agama dan menjalankan kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Di zaman sekarang, di mana kebanyakan orang lebih akrab dengan kalender Masehi, banyak muslim yang mulai melupakan kalender Hijriah. Padahal, hampir semua ibadah utama dalam Islam berlandaskan kalender ini. Jika memahaminya dengan baik, kita akan lebih peka terhadap waktu-waktu penting dalam Islam dan bisa menjalani kehidupan dengan lebih Islami.

Berikut ini adalah beberapa manfaat pentingnya seorang muslim mempelajari kalender Hijriah.

1. Kalender Hijriah adalah kalender yang diakui oleh Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36) Read more

Dalam kehidupan ini, setiap umat Islam dihadapkan dengan berbagai macam ujian, cobaan, kesenangan, dan kesulitan yang datang silih berganti. Semua itu merupakan bagian dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang telah ditentukan sebelum kita dilahirkan. Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk selalu memiliki prasangka baik terhadap setiap takdir-Nya, baik itu berupa kebahagiaan maupun kesedihan, kelapangan maupun kesempitan, kenikmatan maupun penderitaan. Hal ini bukan hanya penting untuk menjaga ketenangan hati, tetapi juga merupakan bagian dari iman yang dapat menguatkan hubungan kita dengan Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala, sebagai Sang Pemilik segala sesuatu di alam semesta, memiliki hikmah yang tak terjangkau oleh akal manusia. Dalam kehidupan, takdir-Nya tidak selalu tampak sesuai dengan keinginan atau harapan kita. Namun, sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk memiliki prasangka baik kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena setiap takdir-Nya mengandung hikmah yang terkadang tidak langsung kita pahami.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah (2:216) yang artinya:

Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.

Ayat ini mengingatkan kita bahwa apa yang kita anggap sebagai kesulitan, cobaan, atau sesuatu yang buruk, bisa jadi merupakan kebaikan yang kita tidak ketahui. Begitu juga dengan apa yang kita anggap sebagai kenikmatan dan kebahagiaan, mungkin mengandung bahaya yang tidak kita sadari. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk senantiasa memiliki prasangka baik terhadap segala ketentuan-Nya. Read more

Saya minta doa Ibu agar skripsi saya lancar“, begitulah pesan dari seorang mahasiswa yang masuk ke WhatsApp saya.

Sebagai seseorang yang juga pernah melalui fase itu, saya pun membalas, “Semoga Allah mudahkan skripsi Mbak. Skripsi memang bikin stresful… tapi nggak apa-apa, dijalani saja ya, Mbak“.

Lalu saya menambahkan, “Saya sendiri selalu ada problem saat skripsi, tesis sampai disertasi. Yang penting, kita fight terus dan ngerjain terus… karena suatu saat juga akan selesai juga… dan menjadi kenangan 🙂

Skripsi: Antara Kebanggaan dan Masalah

Bagi mahasiswa tingkat akhir, menyandang status “sedang skripsi” adalah kebanggaan tersendiri, terutama di mata adik tingkat. Namun, status ini bisa berubah menjadi beban jika semester demi semester berlalu, bahkan berganti tahun, tetapi skripsi masih saja belum selesai.

Secara administratif, skripsi dimulai dari proposal dan diakhiri dengan sidang. Secara teknis, skripsi melibatkan perencanaan, penelitian, hingga pelaporan hasil. Namun, skripsi juga bisa dilihat dari sisi lain: sebagai ujian multifaset: bukan hanya kemampuan akademik, tetapi juga keterampilan berkomunikasi lisan dan tulisan, ketahanan mental, serta manajemen emosi.

Skripsi itu Ibadah

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah. Skripsi bukan sekadar tugas akademik, tetapi juga bentuk mencari ilmu yang bermanfaat. Dengan niat yang lurus, skripsi bisa menjadi jalan meraih rida Allah. Selain itu, skripsi bukan hanya tentang hubungan kita dan dosen pembimbing, tetapi juga tentang amanah orang tua, harapan keluarga besar, dan peluang masa depan. Read more

Kajian FTI, 21 Oktober 2024/18 Rabiuts Tsani 1446
Oleh: Ahmad Fathan Hidayatullah

Setiap manusia tentu ingin hidup bahagia. Berbagai cara ditempuh untuk mencapai kehidupan yang nyaman dan menenteramkan hati. Sebagian orang mencari kebahagiaan melalui harta, kedudukan, atau popularitas, berharap bahwa hal-hal tersebut dapat memberikan kebahagiaan yang diidamkan. Namun, ada pula yang mencari kebahagiaan dengan cara-cara yang melanggar syariat Allah, seperti meminum khamar, berjudi, berzina, dan melakukan perbuatan maksiat lainnya, dengan harapan tindakan tersebut dapat memberikan kesenangan atau menjadi pelarian dari masalah.

Padahal, kebahagiaan sejati tidak diukur dari harta, jabatan, atau popularitas. Banyak orang yang secara lahiriah tampak kaya atau sukses, tetapi belum tentu mereka merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kita perlu selalu mengingat bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, sebuah persinggahan singkat sebelum menuju kehidupan yang sesungguhnya di akhirat. Dalam Islam, kebahagiaan yang hakiki bukan hanya terkait dengan urusan duniawi, tetapi juga terletak pada ketenangan hati dan kedekatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. 

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Kitab Al Wabilush Shayyib menyebutkan,

ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم الله سبحانه وتعالى المسؤول المرجو الإجابة أن يتولاكم في الدنيا والآخرة وأن يسبغ عليكم نعمه ظاهرة وباطنة وأن يجعلكم ممن إذا أنعم عليه شكر وإذا ابتلي صبر وإذا أذنب استغفر فإن هذه الأمور الثلاثة عنوان سعادة العبد وعلامة فلاحه في دنياه وأخراه ولا ينفك عبد عنها أبدا فإن العبد دائم التقلب بين هذه الأطباق الثلاث

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, Yang senantiasa diharapkan terijabahnya doa. Semoga Allah melindungi kalian di dunia dan akhirat. Semoga Allah senantiasa melapangkan nikmat-Nya baik secara lahir maupun batin. Semoga Allah pula menjadikan kalian menjadi orang-orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika ditimpa musibah, dan beristigfar ketika melakukan perbuatan dosa. Sesungguhnya tiga hal ini adalah tanda dan ciri kebahagiaan seorang hamba di dunia maupun di akhirat. Seorang hamba senantiasa akan berputar pada tiga kondisi ini [1].

1. Bersyukur apabila diberi nikmat

Read more

Siapa yang pernah sakit? Hampir semua orang pasti pernah merasakan sakit. Apapun jenis sakitnya, bagaimanapun level sakitnya, ringan maupun berat. Hanya saja, setiap orang memiliki persepsi masing-masing dalam menyikapi penyakitnya. Ada yang menerima dengan lapang dada lalu optimis sembuh. Ada pula yang merasa stres dan berat hati dalam menerimanya. Lalu, bagaimanakah semestinya seorang muslim/muslimah menyikapi sakit yang menimpanya? Lalu, pelajaran apakah yang dapat diambil dari sakit?

Iman kepada Qada dan Qadar

Iman kepada qada qadar merupakan bagian dari rukun iman. Adapun sakit merupakan salah satu dari qada (ketetapan) Allah subhanahu wa ta’ala. Menurut Syekh An-Nabhani dalam bab Al-qada wal Qadar, manusia berada dalam dua wilayah perbuatan yaitu wilayah ikhtiari dan qada [1].

1. Wilayah Ikhtiari

Pertama, wilayah ikhtiari yaitu wilayah manusia bisa memilih apakah ia melakukan suatu perbuatan atau meninggalkan perbuatan tadi, contohnya makan, minum, bekerja, dll [2]. Tentu saja ia akan dihisab atas segala pilihannya. Jika ia memilih perbuatan yang sejalan dengan syariat Islam, ia akan mendapat pahala. Namun, bila sebaliknya, ia akan mendapatkan dosa. 

2. Wilayah Qada

Kedua, wilayah qada yaitu wilayah yang mengendalikan seluruh perbuatan manusia. Manusia dipaksa untuk menerima semua yang terjadi pada wilayah tadi [3]. Misalnya, asal usul kelahiran, bentuk tubuh, hasil dari usaha (ikhtiar), kematian, musibah, termasuk sakit. Manusia tidak dihisab atas qada yang menimpanya, qada baik maupun qada buruk. Namun, bagaimana ia menyikapi qada tersebut, itulah yang akan dihisab. Jika ia menyikapi qada buruk yang menimpanya dengan lapang dada dan tetap berprasangka baik pada Allah serta tidak berputus asa, disediakan pahala untuknya sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Az-Zumar: 10. Bila sebaliknya, ia akan mendapat dosa. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, Read more