Penulis: Irving V. Paputungan (Dosen Jurusan Informatika UII)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada berbagai situasi yang menuntut untuk mengambil sikap dan keputusan. Salah satu hal yang penting adalah bagaimana seorang muslim menyikapi informasi dan kejadian di sekitar. Islam mengajarkan kita untuk selalu berpikir positif dan berbaik sangka (husnuzan) terhadap sesama. Namun, seorang muslim juga tidak dilarang untuk bersikap waspada dan berhati-hati dalam menghadapi potensi bahaya.

Berpikir negatif atau suuzan adalah perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Suuzan dapat merusak hati dan pikiran, serta menimbulkan berbagai masalah dalam hubungan sesama manusia. Namun, bukan berarti kita sebagai seorang muslim harus bersikap naif dan mengabaikan potensi ancaman yang ada. Waspada adalah sikap yang penting untuk menjaga diri dan orang lain dari bahaya.

Lantas, bagaimana dapat membedakan antara berpikir negatif dan waspada? Bagaimana dapat bersikap seimbang antara berbaik sangka dan berhati-hati? Artikel ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan perspektif Islam.

Apa itu Suuzan?

Berpikir negatif atau suuzan adalah prasangka buruk terhadap orang lain tanpa adanya bukti yang jelas. Dalam Islam, suuzan sangatlah terlarang karena dapat menimbulkan fitnah, permusuhan, dan merusak hubungan persaudaraan. 

Allah ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa” (QS. Al-Hujurat:12).

Ayat ini dengan jelas melarang kita sebagai muslim untuk berprasangka buruk terhadap orang lain karena sebagian prasangka itu adalah dosa. Suuzan muncul dari hati yang kotor akibat lemahnya keimanan, tidak ikhlas, tidak merasa cukup, tidak bersyukur, dan tidak berserah diri kepada Allah ta’ala.

Pengertian Waspada

Read more

Pendahuluan

Sebagai seorang muslim, memahami kalender Hijriah sangatlah penting. Kalender ini bukan sekadar sistem penanggalan, tetapi juga panduan utama dalam menjalankan ibadah dan mengenang peristiwa penting dalam sejarah Islam. Dengan memahami bulan-bulan dalam kalender Hijriah, seorang muslim bisa lebih terhubung dengan ajaran agama dan menjalankan kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Di zaman sekarang, di mana kebanyakan orang lebih akrab dengan kalender Masehi, banyak muslim yang mulai melupakan kalender Hijriah. Padahal, hampir semua ibadah utama dalam Islam berlandaskan kalender ini. Jika memahaminya dengan baik, kita akan lebih peka terhadap waktu-waktu penting dalam Islam dan bisa menjalani kehidupan dengan lebih Islami.

Berikut ini adalah beberapa manfaat pentingnya seorang muslim mempelajari kalender Hijriah.

1. Kalender Hijriah adalah kalender yang diakui oleh Allah Ta’ala

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.” (QS. At-Taubah: 36) Read more

Dalam kehidupan ini, setiap umat Islam dihadapkan dengan berbagai macam ujian, cobaan, kesenangan, dan kesulitan yang datang silih berganti. Semua itu merupakan bagian dari takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang telah ditentukan sebelum kita dilahirkan. Sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk selalu memiliki prasangka baik terhadap setiap takdir-Nya, baik itu berupa kebahagiaan maupun kesedihan, kelapangan maupun kesempitan, kenikmatan maupun penderitaan. Hal ini bukan hanya penting untuk menjaga ketenangan hati, tetapi juga merupakan bagian dari iman yang dapat menguatkan hubungan kita dengan Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala, sebagai Sang Pemilik segala sesuatu di alam semesta, memiliki hikmah yang tak terjangkau oleh akal manusia. Dalam kehidupan, takdir-Nya tidak selalu tampak sesuai dengan keinginan atau harapan kita. Namun, sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk memiliki prasangka baik kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena setiap takdir-Nya mengandung hikmah yang terkadang tidak langsung kita pahami.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqarah (2:216) yang artinya:

Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.

Ayat ini mengingatkan kita bahwa apa yang kita anggap sebagai kesulitan, cobaan, atau sesuatu yang buruk, bisa jadi merupakan kebaikan yang kita tidak ketahui. Begitu juga dengan apa yang kita anggap sebagai kenikmatan dan kebahagiaan, mungkin mengandung bahaya yang tidak kita sadari. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk senantiasa memiliki prasangka baik terhadap segala ketentuan-Nya. Read more

Saya minta doa Ibu agar skripsi saya lancar“, begitulah pesan dari seorang mahasiswa yang masuk ke WhatsApp saya.

Sebagai seseorang yang juga pernah melalui fase itu, saya pun membalas, “Semoga Allah mudahkan skripsi Mbak. Skripsi memang bikin stresful… tapi nggak apa-apa, dijalani saja ya, Mbak“.

Lalu saya menambahkan, “Saya sendiri selalu ada problem saat skripsi, tesis sampai disertasi. Yang penting, kita fight terus dan ngerjain terus… karena suatu saat juga akan selesai juga… dan menjadi kenangan 🙂

Skripsi: Antara Kebanggaan dan Masalah

Bagi mahasiswa tingkat akhir, menyandang status “sedang skripsi” adalah kebanggaan tersendiri, terutama di mata adik tingkat. Namun, status ini bisa berubah menjadi beban jika semester demi semester berlalu, bahkan berganti tahun, tetapi skripsi masih saja belum selesai.

Secara administratif, skripsi dimulai dari proposal dan diakhiri dengan sidang. Secara teknis, skripsi melibatkan perencanaan, penelitian, hingga pelaporan hasil. Namun, skripsi juga bisa dilihat dari sisi lain: sebagai ujian multifaset: bukan hanya kemampuan akademik, tetapi juga keterampilan berkomunikasi lisan dan tulisan, ketahanan mental, serta manajemen emosi.

Skripsi itu Ibadah

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah bagian dari ibadah. Skripsi bukan sekadar tugas akademik, tetapi juga bentuk mencari ilmu yang bermanfaat. Dengan niat yang lurus, skripsi bisa menjadi jalan meraih rida Allah. Selain itu, skripsi bukan hanya tentang hubungan kita dan dosen pembimbing, tetapi juga tentang amanah orang tua, harapan keluarga besar, dan peluang masa depan. Read more

Kajian FTI, 21 Oktober 2024/18 Rabiuts Tsani 1446
Oleh: Ahmad Fathan Hidayatullah

Setiap manusia tentu ingin hidup bahagia. Berbagai cara ditempuh untuk mencapai kehidupan yang nyaman dan menenteramkan hati. Sebagian orang mencari kebahagiaan melalui harta, kedudukan, atau popularitas, berharap bahwa hal-hal tersebut dapat memberikan kebahagiaan yang diidamkan. Namun, ada pula yang mencari kebahagiaan dengan cara-cara yang melanggar syariat Allah, seperti meminum khamar, berjudi, berzina, dan melakukan perbuatan maksiat lainnya, dengan harapan tindakan tersebut dapat memberikan kesenangan atau menjadi pelarian dari masalah.

Padahal, kebahagiaan sejati tidak diukur dari harta, jabatan, atau popularitas. Banyak orang yang secara lahiriah tampak kaya atau sukses, tetapi belum tentu mereka merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kita perlu selalu mengingat bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, sebuah persinggahan singkat sebelum menuju kehidupan yang sesungguhnya di akhirat. Dalam Islam, kebahagiaan yang hakiki bukan hanya terkait dengan urusan duniawi, tetapi juga terletak pada ketenangan hati dan kedekatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. 

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Kitab Al Wabilush Shayyib menyebutkan,

ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم الله سبحانه وتعالى المسؤول المرجو الإجابة أن يتولاكم في الدنيا والآخرة وأن يسبغ عليكم نعمه ظاهرة وباطنة وأن يجعلكم ممن إذا أنعم عليه شكر وإذا ابتلي صبر وإذا أذنب استغفر فإن هذه الأمور الثلاثة عنوان سعادة العبد وعلامة فلاحه في دنياه وأخراه ولا ينفك عبد عنها أبدا فإن العبد دائم التقلب بين هذه الأطباق الثلاث

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, Yang senantiasa diharapkan terijabahnya doa. Semoga Allah melindungi kalian di dunia dan akhirat. Semoga Allah senantiasa melapangkan nikmat-Nya baik secara lahir maupun batin. Semoga Allah pula menjadikan kalian menjadi orang-orang yang bersyukur ketika diberi nikmat, bersabar ketika ditimpa musibah, dan beristigfar ketika melakukan perbuatan dosa. Sesungguhnya tiga hal ini adalah tanda dan ciri kebahagiaan seorang hamba di dunia maupun di akhirat. Seorang hamba senantiasa akan berputar pada tiga kondisi ini [1].

1. Bersyukur apabila diberi nikmat

Read more

Siapa yang pernah sakit? Hampir semua orang pasti pernah merasakan sakit. Apapun jenis sakitnya, bagaimanapun level sakitnya, ringan maupun berat. Hanya saja, setiap orang memiliki persepsi masing-masing dalam menyikapi penyakitnya. Ada yang menerima dengan lapang dada lalu optimis sembuh. Ada pula yang merasa stres dan berat hati dalam menerimanya. Lalu, bagaimanakah semestinya seorang muslim/muslimah menyikapi sakit yang menimpanya? Lalu, pelajaran apakah yang dapat diambil dari sakit?

Iman kepada Qada dan Qadar

Iman kepada qada qadar merupakan bagian dari rukun iman. Adapun sakit merupakan salah satu dari qada (ketetapan) Allah subhanahu wa ta’ala. Menurut Syekh An-Nabhani dalam bab Al-qada wal Qadar, manusia berada dalam dua wilayah perbuatan yaitu wilayah ikhtiari dan qada [1].

1. Wilayah Ikhtiari

Pertama, wilayah ikhtiari yaitu wilayah manusia bisa memilih apakah ia melakukan suatu perbuatan atau meninggalkan perbuatan tadi, contohnya makan, minum, bekerja, dll [2]. Tentu saja ia akan dihisab atas segala pilihannya. Jika ia memilih perbuatan yang sejalan dengan syariat Islam, ia akan mendapat pahala. Namun, bila sebaliknya, ia akan mendapatkan dosa. 

2. Wilayah Qada

Kedua, wilayah qada yaitu wilayah yang mengendalikan seluruh perbuatan manusia. Manusia dipaksa untuk menerima semua yang terjadi pada wilayah tadi [3]. Misalnya, asal usul kelahiran, bentuk tubuh, hasil dari usaha (ikhtiar), kematian, musibah, termasuk sakit. Manusia tidak dihisab atas qada yang menimpanya, qada baik maupun qada buruk. Namun, bagaimana ia menyikapi qada tersebut, itulah yang akan dihisab. Jika ia menyikapi qada buruk yang menimpanya dengan lapang dada dan tetap berprasangka baik pada Allah serta tidak berputus asa, disediakan pahala untuknya sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Az-Zumar: 10. Bila sebaliknya, ia akan mendapat dosa. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, Read more

Dalam dunia kerja yang serba cepat, terutama dalam ekosistem startup, sering kali kita terjebak dalam ritme pekerjaan yang menuntut produktivitas tinggi, tetapi mengesampingkan dimensi spiritual. Dalam konteks Islam, bekerja bukan hanya soal memenuhi kebutuhan duniawi, tetapi juga menjadi jalan untuk mencapai rida Allah. Etos kerja yang kuat bukanlah sekadar tentang hasil, tetapi tentang cara kita menjalani pekerjaan dengan niat ibadah dan penuh tanggung jawab.

Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menekankan pentingnya amanah dan tanggung jawab dalam setiap pekerjaan yang kita emban. Setiap kita, baik sebagai karyawan, pemimpin tim, atau pendiri startup, memegang amanah untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

Menyelaraskan Niat dan Amal

Dalam Islam, segala sesuatu bermula dari niat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari, no. 1; Muslim, no. 1907).

Ketika kita memulai pekerjaan dengan niat ibadah, setiap aktivitas yang kita lakukan di dunia kerja, bahkan yang paling sederhana sekalipun, dapat bernilai pahala di sisi Allah. Dalam dunia startup, yang penuh dengan tekanan dan persaingan, memiliki niat yang lurus sangat penting agar setiap tindakan yang kita lakukan tidak hanya menguntungkan dari sisi bisnis, tetapi juga bermakna secara spiritual.

Kerja Keras dengan Tawakal

Read more

Dalam perjalanan hidup yang penuh dengan berbagai rintangan dan tantangan, kesabaran menjadi faktor kunci bagi seorang muslim yang ingin menjalani hidup dengan penuh makna dan kedamaian. Kesabaran, atau yang dalam bahasa Arab disebut “shabr,” adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dan menahan godaan di tengah berbagai situasi, baik yang menyenangkan maupun yang menantang. Dalam Islam, kesabaran adalah kualitas yang sangat dihargai dan dianggap sebagai salah satu dari pilar utama dalam mencapai kehidupan yang diberkahi oleh Allah Swt. Kesabaran mencakup tiga aspek penting yang menjadi landasan bagi kehidupan seorang Muslim:

  1. Ketabahan dalam menghadapi musibah.
  2. Keteguhan dalam menjalankan perintah Allah Swt.
  3. Kekuatan untuk menjauhi larangan-Nya.

Kesabaran: Perjuangan Aktif, Bukan Sikap Pasif

Kesabaran bukan sekadar sikap pasif atau penerimaan tanpa usaha, tetapi merupakan perjuangan aktif untuk tetap berada di jalur yang benar. Sifat kesabaran inilah yang menjadi penguat iman dan keyakinan dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:

“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya, Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

Ayat ini menegaskan bahwa Allah Swt. selalu bersama mereka yang bersabar, yang menahan diri dengan tetap melaksanakan kebaikan dan ketaatan, meskipun menghadapi ujian yang sulit. Kesabaran merupakan bentuk kepasrahan dan ketundukan kepada kehendak Allah Swt. Tiap Muslim yang bersabar akan mendapatkan balasan yang besar di akhirat.

Kesabaran dalam Menghadapi Ujian Hidup

Read more

Kita semua pernah merasakan kekecewaan ketika hasil yang kita capai tidak sesuai dengan harapan, baik dalam bentuk kegagalan, hambatan, atau hasil yang jauh dari impian. Namun, di balik setiap kegagalan, tersembunyi hikmah yang mungkin belum kita sadari atau pahami. Allah, Yang Maha Bijaksana, tidak pernah memberikan ujian atau cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Apa yang kita anggap sebagai kegagalan atau kemunduran, sejatinya merupakan bagian dari rencana terbaik yang Allah gariskan bagi kita untuk menempuh perjalanan hidup ini. Dengan menerima ketetapan-Nya dan bersikap ikhlas dalam setiap takdir yang telah ditentukan, hati kita akan dipenuhi dengan kedamaian. Dari situlah muncul kekuatan yang mendorong kita untuk bangkit, melangkah maju, dan berusaha menjadi lebih baik. Kegagalan bukanlah akhir, tetapi awal dari kesempatan baru untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Ujian Tidak Melebihi Kemampuan

Allah Swt. berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari kebajikan yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.'” (QS. Al-Baqarah: 286).

Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap cobaan yang kita hadapi sudah diukur oleh Allah sesuai dengan kemampuan kita. Tidak ada ujian yang terlalu berat yang diberikan kepada kita tanpa diberikannya kekuatan untuk menghadapinya. Keyakinan ini mengajarkan kita untuk tetap optimis, meski hasil yang kita dapatkan tidak sesuai dengan keinginan. Read more

Dalam kehidupan modern ini, kemudahan dan kecepatan sering kali menjadi prioritas dalam bekerja dan mencari rezeki. Namun, Islam mengajarkan bahwa dalam mencari rezeki, kualitas dan keberkahan jauh lebih utama daripada jumlah atau kecepatan. Rezeki yang halal dan baik adalah rezeki yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 168:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Artinya: “Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.”

Ayat ini mengingatkan umat Islam untuk memastikan bahwa rezeki yang diperoleh adalah rezeki yang halal dan baik.

Mencari Rezeki Halal di Era Modern

Di zaman yang serba cepat dan penuh persaingan, banyak orang tergoda untuk mencari rezeki dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, seperti korupsi, penipuan, atau riba. Agama Islam dengan jelas melarang perbuatan ini, sebagaimana hadis yang disabdakan Rasulullan saw.:

كُلُّ لَحْمٍ وَدَمٍ نَبَتَا مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِمَا

Artinya: “Setiap daging dan darah yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka lebih utama terhadap keduanya.” (HR. At-Thabrani).

Dengan demikian, seorang Muslim diingatkan untuk selalu berhati-hati dalam mencari rezeki dan memastikan penghasilan didapatkan dari sumber yang halal.

Mengutamakan Etika dalam Berbisnis

Read more