Siapa yang pernah sakit? Hampir semua orang pasti pernah merasakan sakit. Apapun jenis sakitnya, bagaimanapun level sakitnya, ringan maupun berat. Hanya saja, setiap orang memiliki persepsi masing-masing dalam menyikapi penyakitnya. Ada yang menerima dengan lapang dada lalu optimis sembuh. Ada pula yang merasa stres dan berat hati dalam menerimanya. Lalu, bagaimanakah semestinya seorang muslim/muslimah menyikapi sakit yang menimpanya? Lalu, pelajaran apakah yang dapat diambil dari sakit?
Iman kepada Qada dan Qadar
Iman kepada qada qadar merupakan bagian dari rukun iman. Adapun sakit merupakan salah satu dari qada (ketetapan) Allah subhanahu wa ta’ala. Menurut Syekh An-Nabhani dalam bab Al-qada wal Qadar, manusia berada dalam dua wilayah perbuatan yaitu wilayah ikhtiari dan qada [1].
1. Wilayah Ikhtiari
Pertama, wilayah ikhtiari yaitu wilayah manusia bisa memilih apakah ia melakukan suatu perbuatan atau meninggalkan perbuatan tadi, contohnya makan, minum, bekerja, dll [2]. Tentu saja ia akan dihisab atas segala pilihannya. Jika ia memilih perbuatan yang sejalan dengan syariat Islam, ia akan mendapat pahala. Namun, bila sebaliknya, ia akan mendapatkan dosa.
2. Wilayah Qada
Kedua, wilayah qada yaitu wilayah yang mengendalikan seluruh perbuatan manusia. Manusia dipaksa untuk menerima semua yang terjadi pada wilayah tadi [3]. Misalnya, asal usul kelahiran, bentuk tubuh, hasil dari usaha (ikhtiar), kematian, musibah, termasuk sakit. Manusia tidak dihisab atas qada yang menimpanya, qada baik maupun qada buruk. Namun, bagaimana ia menyikapi qada tersebut, itulah yang akan dihisab. Jika ia menyikapi qada buruk yang menimpanya dengan lapang dada dan tetap berprasangka baik pada Allah serta tidak berputus asa, disediakan pahala untuknya sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Az-Zumar: 10. Bila sebaliknya, ia akan mendapat dosa. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, Read more