Teguh Hati Ala Sahabat Nabi
Oleh Ari Sujarwo
Islam, Landasan Inti
Islam dikenal sebagai agama yang tidak hanya mencakup ritus hubungan makhluk dengan khaliknya, tetapi juga menawarkan lengkapnya pembahasan hingga ke tataran peradaban. Islam yang lengkap dan sempurna menjadi faktor penting dalam menuju kepada gagahnya peradaban yang jika dihitung, kiranya sudah lebih dari 1444 tahun usia peradaban ini. Tentu dinamika selalu ada. Di bilangan usia yang tidak singkat itu, beragam cerita dilalui, manis getirnya hidup menjadi kisah yang tidak terpisahkan dari berkembangnya Islam.
Ruang lingkup pembahasan mengenai Islam bisa didekati dengan 5W+1H, why-what-which-when-who dan how, yang terwakilkan kepada aqidah, syariah, dan dakwah. Pertanyaan why menjawab perkara aqidah, mengenai alasan manusia dihidupkan di muka bumi. Kemudian what dan which mewakili syariah, yaitu tentang apa saja yang manusia perlu taati, bersama dengan when yang menerangkan kapan saja ketaatan kepada Allah SWT harus diwujudkan, serta who yang memberikan petunjuk mengenai aktor yang dikenai hukum. Terakhir, how mengenai bagaimana dakwah menjadi cara bagaimana manusia memahami Islam.
Pertanyaan why berkait dengan aqidah Islam, yaitu ikatan berbasis kesadaran manusia sebagai makhluk atas hubungannya dengan Allah Swt. sebagai khalik. Berbekal kesadaran ini, muncul alasan kuat yang menjadi dasar akan perlunya manusia untuk taat kepada Allah sejak para sahabat yang mendampingi Rasulullah, para tabiin, tabiit tabiin, hingga manusia yang hidup di hari ini. Dalam masa awal dakwah, Rasul saw. bersama para sahabat nabi yang mulia memperbaiki aqidah manusia agar menundukkan dirinya kepada Islam. Sahabat nabi adalah manusia yang mengenal, melihat langsung, dan berjuang bersama nabi saw. dan meninggal dalam keadaan beragama Islam. Para sahabat nabi memiliki peran besar dalam menorehkan sejarah yang membentuk peradaban Islam hingga hari ini. Tentu dengan perjuangan yang tidak ringan di tahap-tahap awal turunnya Islam. Peran-peran sahabat ini menarik untuk diulas lebih lanjut untuk memahami bagaimana kita semestinya bersikap terhadap keberadaan Islam sebagai petunjuk di kehidupan kita.
Menuju Kemajuan Islam
Ramadan, Turunnya Wahyu Pertama
Nabi saw. diangkat sebagai utusan Allah Swt. pada usia Beliau yang ke-40, yaitu pada 611 tahun masehi. Ini ditandai dengan diturunkannya wahyu pertama kali melalui malaikat Jibril di Gua Hira. Sejak saat itu, berangsur ayat-ayat Al Quran turun berkaitan dengan kejadian-kejadian yang berlangsung. Meski, Al Quran sendiri menurut beberapa literatur, sebagai perkataan atau firman Allah turun ke langit dunia dalam satu kesatuan penuh yang juga turun di bulan Ramadan.
Nabi saw. menyampaikan risalah-risalah yang turun kepada umat manusia, terutama kepada para sahabat dalam sebuah kerangka yang para ulama menyebutnya tatsqif, yaitu proses penyampaian pengetahuan yang berdasar akidah Islam atau tsaqofah Islamiyah. Tatsqif merupakan tahapan pertama dalam fase dakwah Rasulullah saw. Ayat-ayat Al Qur’an pada awalnya disampaikan secara tertutup, salah satunya di rumah sahabat Arqam, hingga Allah Swt. perintahkan untuk dakwah secara terbuka. Pada situasi ini, Rasulullah mulai masuk ke fase dakwah yang kedua, yaitu tafa’ul maal ummah, atau menginteraksikan Islam kepada umat.
Pertentangan Qurays di Makkah
Mendapati Muhammad saw. dan para sahabat mulai menyampaikan hal-hal di luar pemahaman nenek moyang mereka, orang-orang Qurays menuntut mereka untuk meninggalkan aktivitas-aktivitasnya. Beragam cara dilakukan oleh orang-orang Qurays untuk menghentikan dakwah Rasulullah saw. dan para sahabat, seperti: pemukulan terhadap Rasulullah saw., tekanan dari orang tua, terutama yang dialami oleh sahabat Sa’ad seperti yang diceritakan di kitab Nafsiyah Islamiyah karya Syaikh an Nabhani, juga peristiwa masyhur yang dialami Bilal yang dijemur di terik matahari.
Peristiwa senada sebagai bentuk tekanan-tekanan orang-orang Qurays masih terus berlanjut, seperti yang dialami oleh Abu Bakar dalam bentuk larangan dakwah secara terbuka. Abu Bakar diperintahkan untuk tidak menunjukkan keislamannya di ruang-ruang publik. Melalui Ibnu Daghanah, sang penjamin keamanan Abu Bakar, orang-orang Qurays memerintahkan Abu Bakar untuk beribadah di dalam rumahnya. Juga peristiwa pelemparan batu kepada Rasul saw. oleh Abu Lahab, pelemparan kotoran, tekanan Abu Jahal yang ditahan malaikat ketika akan menyakiti Rasulullah, dan juga siksaan kepada keluarga Amar dan Yasir, hingga Rasulullah saw. meminta para sahabat untuk bersabar dalam kondisi tersebut.
Olokan, cacian, ejekan, pemboikotan dan ancaman kelaparan, hingga tawar-menawar dakwah nabi dengan harta, tahta, dan wanita juga dilakukan oleh orang-orang Qurays. Mereka menghalangi hijrah dan mengeluarkan ancaman pembunuhan atas nabi saw. yang mulia. Pada fase dakwah di Makkah ini, para sahabat bersabar atas perintah nabi, dan berusaha tetap mempertahankan diri mereka dalam dakwah hingga turun perintah untuk hijrah.
Peradaban Hebat di Madinah
Hijrah ke Madinah adalah peristiwa hijrah kedua setelah yang pertama dilakukan ke Habasyah atau Ethiopia sekitar 7 atau 9 tahun sebelumnya. Pada hijrah ke Madinah ini, peristiwa-peristiwa yang mengawali proses hijrah terjadi. Misalnya bertemunya 12 orang dari Yatsrib, kota yang pasca hijrahnya nabi kemudian disebut dengan Madinah. Mereka bertemu dan menyatakan keimanannya kepada Rasulullah saw. dalam Baiah Aqabah Pertama. Selepas peristiwa Baiah Aqabah Pertama, Rasul saw. mengirim Mus’ab bi Umair untuk meluaskan Islam kepada masyarakat Yatsrib. Kemudian pada tahun berikutnya, 73 orang pria dan dua wanita bertemu dengan Rasulullah saw. dan menyatakan keimanannya. Di tahun yang sama, hijrah ke Madinah dilakukan.
Rasulullah saw. membangun peradaban besar yang mampu menggetarkan negara-negara besar pada zamannya, yaitu Romawi dan Persia. Peradaban yang berangkat dari pemahaman yang utuh mengenai Islam, peradaban yang dibangun di atas pondasi ketakwaan kepada Allah Swt. Ketaatan penuh atas perintah dan larangan Allah, tuhan semesta alam.
Di Madinah, Rasul saw. membentuk sebuah kepemimpinan Islam pada level negara, lengkap dengan tata aturan kenegaraan, pasukan, dan kelengkapan-kelengkapan lain yang mendefinisikan Madinah sebagai sebuah negara. Islam di Madinah dikembangkan dengan pendekatan yang berbeda dari fase Makkah. Jika belajar dari fase dakwah Rasulullah yang sebagian dibahas di awal tulisan ini, masa Madinah masuk di fase dakwah ketiga, yakni isti’lamul hukmi, yakni penerimaan kekuasaan Rasul saw. dari pemimpin Aus dan Khazaraj, dua suku besar di Madinah. Pada fase ini, sebagai pemimpin negara, Rasul saw. menjalankan fungsi-fungsi sebagai kepala negara dalam penegakan hukum. Ini termasuk dalam hal interaksi dengan negara lain seperti bersurat kepada Kaisar Romawi dan Kisra di Persia untuk menyampaikan Islam.
Kehidupan Islam di Madinah ini terus berlanjut sepeninggal Rasulullah saw. oleh khulafaur rasyidin dan para khalifah yang banyak. Hari ini kita masih mengenal Madinah berwujud sebagai peradaban hebat yang sebagian sisa-sisa kemuliaannya masih bisa kita rasakan di berbagai belahan dunia.
Inspirasi Dari Sahabat Nabi
Di banyak tantangan yang dihadapi Rasulullah saw., para sahabat, hingga para khalifah yang banyak tadi, banyak pelajaran yang bisa diambil. Keteguhan jiwa dan sikap konsisten merupakan kata kunci penting dalam sampainya Islam sebagai peradaban besar yang perjuangannya dimulai dari sel yang sangat kecil. Bentuk-bentuk konsistensi Rasul saw. salah satunya adalah ketika Abu Thalib mengonfirmasi peristiwa di sekitar Ka’bah. Merespon itu, Rasulullah saw. melihat ke langit dan berkata, “Apakah kalian melihat matahari itu? Aku tidak mampu menolaknya dari kalian jika ada percikan api yang keluar darinya.” Sebuah pernyataan kokoh yang mempu membuat Abu Thalib menghalau orang-orang Qurays dari hadapannya. Kemudian Sa’ad yang merespon larangan thawaf di Ka’bah. Tak gentar Sa’ad membalas ancaman terhadapnya dengan ancaman yang lain, yaitu pemutusan perdagangan mereka ke Syam
Mengalami hambatan-hambatan dalam dakwah tidak membuat para sahabat kemudian menjauh dari Islam. Mereka teguh untuk tetap memperjuangkan Islam. Abû Dzar al-Ghifari misalnya. Dia tetap mengulangi pembacaan Al-Qur’an di hadapan publik meski orang-orang Qurays memukuli dan menyerangnya, hingga kemudian Abbas datang dan menyelamatkannya. Tekanan juga dialami oleh Abdullah bin Mas’ud ketika membacakan Al-Qur’an di hadapan Ka’bah. Menghadapi tantangan tersebut, dia berkata, “Demi Allah!, tidak ada musuh Allah yang lebih ringan bagiku dari pada mereka saat ini. Jika kalian menghendaki, besok aku akan berangkat lagi pagi-pagi sekali menuju mereka.”
Sebab Mundurnya Islam
Fase menurunnya Islam hingga masuk fase kemunduran tidak terjadi hanya di masa-masa akhir kepemimpinan Utsmaniyyah yang berhasil diruntuhkan pada tahun 1924, sudah akan mencapai satu abad di tahun depan. Kemunduran sejatinya dimulai dengan lemahnya pemahaman Islam sejak awal masa Umayyah. Dibahas oleh Syaikh Taqiyuddin di dalam kitab Daulah Islam, amanah kekhalifahan mestinya diberikan kepada umum. Namun, pada pelaksanaannya, amanah ini hanya diberikan kepada anak, saudara, dan orang dekat. Ini memunculkan kelompok-kelompok seperti ‘Abassi, Fathimi, dll. yang akhirnya melebar kepada pemberian otonomi yang terlalu lebar kepada wilayah-wilayah di bawah kepemimpinan Islam. Hingga datangnya Utsmaniyyah yang menyatukan muslim di seluruh dunia di bawah kepemimpinan mereka. Awalnya, kepemimpinan Islam didasarkan pada kekuatan iman. Namun, selanjutnya mereka sandarkan kepada kekuatan militer dan tidak bersandar pada asas pemahaman Islam yang benar dan penerapan yang sempurna. Dengan situasi ini, dapat ditarik dua faktor penyebab lemahnya Islam, yaitu: (1) lemahnya pemahaman Islam dan (2) buruknya penerapan Islam.
Teguh Hati Menuju Kemajuan
Pelajaran dari mundurnya Islam menjadi catatan penting bagi muslim yang hidup di masa kini. Dua faktor yang disebutkan di atas harus diantisipasi agar sebab-sebab lemahnya pemahaman Islam dapat dihindari, sekaligus mengedukasi lebih banyak orang bahwa Islam pernah diterapkan dengan baik dan mampu membawa kepada kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Umat Islam harus memahami situasi dan kondisi yang ada dengan benar, memikirkan Islam sebagai sistem dengan tata aturan yang bersumber dari aqidah dengan mendalam, menggerakkan pemikiran, dan berusaha mewujudkan kembali proses-proses penggalian hukum, memecahkan problem-problem masyarakat sesuai dengan hukum-hukum yang berasal dari akidahnya dan menerima ilmu serta teknologi.
Mestinya umat Islam mampu berpikir dengan baik dan tidak gontai dalam memikirkan situasi modern. Belajar dari kebingungan-kebingungan yang dialami Utsmaniyyah membuat mereka meninggalkan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga stagnan dan tertinggal dalam dari negara-negara lain.
Penutup
Sebagai penutup, perlu dipahami bahwa Islam adalah akidah negara yang lengkap dengan sistemnya. Ini yang membawa suksesnya Rasulullah saw. dan para sahabat di masa Madinah. Pemikiran-pemikiran Islam adalah pemikiran negara dan arah pandangan Islam dalam kehidupan juga arah pandangannya. Belajar dari keteguhan hati dan konsistensi Rasulullah dan para sahabat, umat hari ini perlu menengok kembali alasan mereka mampu bertahan pada perjuangannya. Keimanan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya rasanya cukup bagi mereka untuk memberikan pelayanan terbaik bagi kemuliaan Islam dan kaum muslimin dan menginspirasi kita untuk selalu berusaha mengikuti jejak-jejak mereka.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 110)
[/FS]