Menegakkan Keadilan dalam Perjanjian Kerja: Sektor Jasa

oleh: Kholid Haryono, ST., M.Kom. 

Dalam kehidupan modern, jasa menjadi fondasi banyak aktivitas ekonomi dan sosial. Dunia pendidikan, kesehatan, konsultasi, dan administrasi, semuanya bergantung pada komitmen terhadap perjanjian kerja yang telah disepakati. Namun, realitas memperlihatkan bahwa banyak orang tergoda untuk mengambil jalan pintas: mengurangi usaha, memperkecil pengorbanan, tetapi berharap tetap mendapatkan hasil maksimal. Islam sangat tegas dalam mengajarkan keadilan dalam setiap bentuk transaksi, baik yang berkaitan dengan barang maupun jasa. Prinsip ini memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an, salah satunya terdapat dalam Surah Al-Muṭaffifīn ayat 1–3, yang secara khusus mengecam orang-orang yang curang dalam takaran dan timbangan:

وَيْلٌۭ لِّلْمُطَفِّفِينَ ﴿١﴾ ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكْتَالُوا عَلَى ٱلنَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ﴿٢﴾ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (٣) 

Artinya:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.”
(QS. Al-Muthaffifin: 1–3)

Ayat ini mengandung peringatan keras bagi siapa pun yang tidak berlaku adil dalam transaksi, dan menekankan pentingnya kejujuran serta tanggung jawab dalam interaksi ekonomi.

Hakikat Tanggung Jawab dalam Transaksi Jasa

Dalam transaksi jasa, ukuran keadilan tidak hanya dihitung dari produk fisik, melainkan dari pemenuhan amanah: waktu, kualitas kerja, dan kesungguhan. Seorang dosen yang terikat untuk memberikan 14 kali pertemuan kuliah per semester, seorang perawat yang dijadwalkan bekerja 8 jam per hari, atau seorang konsultan yang harus memberikan laporan bulanan, semua itu adalah bentuk “takaran” dalam jasa. Menunaikan amanah ini secara penuh adalah wujud keadilan.

Islam menuntut pemenuhan hak dan kewajiban ini tanpa dikurangi. Dalam logika duniawi, seseorang mungkin tergoda untuk mengurangi usaha: datang terlambat, pulang lebih cepat, menunda pekerjaan, atau memberikan layanan sekadarnya. Namun, dalam pandangan Islam, setiap pengurangan tanpa hak adalah bentuk pengkhianatan terhadap akad, yang berkonsekuensi dosa berat di sisi Allah.

Semangat Keadilan dan Larangan Berbuat Curang

Surat Al-Muthaffifin mengandung pesan tegas yang mengutuk kecurangan dalam transaksi, termasuk dalam dunia jasa. Spirit utama dari surat ini adalah larangan mengurangi hak orang lain dan kecaman terhadap sikap ingin haknya dipenuhi tetapi mengabaikan hak orang lain. Al-Qur’an mencela perilaku manusia yang ingin menerima penuh tetapi memberi dengan kurang, sebuah karakter buruk yang sering muncul dalam dunia kerja jasa.

Dalam konteks modern, kecurangan dalam jasa tidak hanya berbentuk fisik seperti menakar atau menimbang barang, tetapi juga dalam bentuk pelayanan yang tidak maksimal, hasil kerja yang tidak sesuai kesepakatan, dan ketidaksetiaan terhadap kontrak kerja. Surat Al-Muthaffifin mengingatkan bahwa perbuatan seperti ini bukan hanya dosa terhadap sesama, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanah Allah yang mengundang ancaman serius di dunia dan akhirat.

Mengurangi takaran jasa—baik dalam waktu, kualitas, maupun hasil—adalah bentuk nyata dari “tatfif” yang dilarang. Islam mendorong setiap pekerja untuk adil, jujur, dan profesional, menunaikan seluruh janji kerja dengan sempurna, meski mungkin tidak ada pengawasan langsung. Prinsip ini berlaku dalam semua profesi: guru, dokter, perawat, konsultan, dan sebagainya.

Lebih jauh, surat ini mengajarkan bahwa keberkahan dalam usaha terikat dengan kejujuran dalam menunaikan hak orang lain. Bangsa atau komunitas yang membiarkan kecurangan berakar akan menuai kerusakan ekonomi, sosial, dan spiritual. Karena itu, berbuat adil dalam kerja bukan hanya kewajiban individu, tetapi syarat penting bagi kemakmuran dan keberlanjutan sebuah masyarakat.

Secara naluriah, manusia ingin memperoleh hasil maksimal dengan usaha minimal. Dalam dunia kerja, hal ini sering terlihat dalam bentuk karyawan yang bekerja ala kadarnya tetapi tetap menuntut gaji penuh, dokter yang memberikan layanan seadanya kepada pasiennya, atau konsultan yang hanya meng-copy pekerjaan lama tanpa menyesuaikan kebutuhan klien baru. Semua itu adalah contoh nyata dari “tathfif” modern: mengurangi hak orang lain.

Perilaku ini, meskipun dianggap kecil, dalam Islam dipandang sangat serius. Mencurangi takaran jasa merusak kepercayaan, menciptakan ketidakadilan, dan pada skala besar menghancurkan integritas sosial. Dunia usaha jasa, yang seharusnya menjadi jalan kebaikan, malah berubah menjadi ladang kecurangan jika prinsip keadilan ini diabaikan.

Berpegang Teguh pada Amanah Kerja dan Dampak Mengabaikannya

Dalam ajaran Islam, amanah bukan hanya janji kepada manusia, tetapi juga kepada Allah. Ketika seseorang menandatangani kontrak kerja, ia pada hakikatnya mengikat dirinya di hadapan Allah untuk menunaikan tugas tersebut sebaik-baiknya.

Berhenti di tengah kontrak karena godaan tawaran gaji lebih besar tanpa menyelesaikan kewajiban lama adalah bentuk pelanggaran terhadap amanah. Begitu juga dengan mengurangi jam kerja tanpa izin, atau memperlambat output kerja tanpa sebab yang sah. Semua itu menodai kehormatan diri dan merusak tatanan sosial.

Sebaliknya, Islam mengajarkan untuk berusaha memenuhi setiap perjanjian secara sempurna. Bekerja dengan profesional, menjaga waktu kerja, menghormati setiap pasal dalam kontrak, bahkan jika kadang terasa berat, adalah bentuk ketakwaan yang nyata.

Ketidakadilan dalam transaksi jasa tidak hanya merugikan individu, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Ketika budaya curang dalam kerja merajalela, yang terjadi adalah:

  • Menurunnya produktivitas organisasi atau lembaga
  • Rusaknya kepercayaan antara penyedia jasa dan penerima jasa
  • Meningkatnya angka sengketa hukum akibat pelanggaran kontrak
  • Menyebarnya ketidakpuasan dan stres sosial

Tidak heran jika dalam banyak dalil, Allah mengancam masyarakat yang melazimkan kecurangan dengan datangnya musibah, kemiskinan, dan ketidakberkahan dalam kehidupan mereka. Sebab kecurangan kecil, jika dibiarkan, berkembang menjadi kezaliman besar.

Membangun Budaya Keadilan di Dunia Jasa

Membangun budaya keadilan dalam dunia kerja jasa bukan sekadar soal regulasi, tapi lebih dalam: membangun kesadaran iman bahwa pekerjaan adalah ibadah. Setiap jam kerja yang dilaksanakan dengan jujur akan menjadi amal kebaikan di sisi Allah.

Maka, pekerja jasa hendaknya:

  • Menyempurnakan jam dan mutu kerja sesuai kesepakatan
  • Tidak mengurangi usaha walau tidak diawasi
  • Tidak melalaikan kontrak meski ada godaan keuntungan baru
  • Memandang pekerjaannya sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah

Demikian pula pemberi kerja, wajib memenuhi hak-hak pekerja tanpa dikurangi atau diabaikan. Keberkahan dalam usaha bukan diukur dari besarnya keuntungan, melainkan dari keadilan yang ditegakkan.

Akhirnya, semangat keadilan dalam transaksi jasa merupakan pancaran dari ruh Islam yang murni. Kesempurnaan takaran jasa adalah jalan meraih rida Allah, menciptakan masyarakat yang sehat, dan membangun peradaban yang beradab.

Dalam sebuah masyarakat yang adil, dunia jasa menjadi taman amal yang penuh keberkahan. Setiap dosen yang mengajar penuh amanah, setiap dokter yang melayani dengan tulus, setiap konsultan yang bekerja dengan profesional, adalah tiang-tiang keadilan yang menopang langit keberkahan suatu bangsa.

Semoga Allah menanamkan dalam hati kita semua rasa takut untuk berbuat curang, dan semangat untuk selalu menegakkan keadilan dalam setiap akad dan amanah yang kita emban.

وَأَوْفُوا ٱلْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا۟ بِٱلْقِسْطَاسِ ٱلْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra’: 35)

Sumber: Disarikan dari Tafsir Tahlili Quran Kemenag dan berbagai sumber.