Tadabur Hikmah Kurban

hewan kurban

Kurban (udhiyyah) merupakan salah satu amalan ibadah yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakan pada bulan Zulhijah. Secara bahasa, udhiyyah (الأضحية) bermakna menyembelih hewan kurban di waktu duha. Secara syariat, udhiyyah bermakna menyembelih hewan kurban berupa unta, sapi, atau kambing pada Hari Raya Idul Adha (10 Zulhijah) dan pada hari-hari tasyrik (11, 12, 13 Zulhijah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Mayoritas ulama berpendapat bahwa udhiyyah atau kurban dihukumi sunnah muakkadah, yaitu sunah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Ibadah ini sangat dianjurkan bagi muslim yang memiliki kemampuan dan kelebihan rezeki. Bahkan, sebagian ulama menjelaskan tentang kebolehan berutang dalam rangka menjalankan syariat udhiyyah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rezeki) dan tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.” (H.R. Ibnu Majah no. 3123)

Ibadah kurban tidak hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga memiliki banyak hikmah dan keutamaan yang sangat besar bagi kehidupan seorang muslim, baik secara individu maupun sosial. Berikut ini beberapa di antara hikmah kurban:

1. Kurban adalah sarana untuk mendekatkan diri dan sarana meraih ketakwaan kepada Allah [1,2].

Kurban merupakan ibadah yang agung yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” (Q.S. Al Kautsar: 2)

Ayat tersebut memerintahkan kita untuk menegakkan salat dan berkurban hanya untuk Allah ta’ala semata, bukan kepada yang lain. Hal ini ditegaskan untuk menyelisihi dan membantah kebiasaan orang-orang musyrik yang dahulu beribadah dan menyembelih kurban kepada berhala dan selain Allah [3]. Di ayat lain, Allah berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

“Katakanlah: sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. Al An’am: 162)

Ayat tersebut kembali menegaskan bahwa segala ibadah kita hanya ditujukan untuk Allah ta’ala semata. Berkaitan dengan Q.S. Al An’am: 162, dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, dijelaskan bahwa makna dari kata (النسك) adalah bentuk jamak dari kata (النَّسِيكَةُ) yang berarti sembelihan [4]. Pada kedua ayat tersebut, Allah menggandengkan salat dengan kurban dan ini menunjukkan betapa agungnya ibadah kurban.

Berkaitan dengan ketakwaan, Allah ta’ala berfirman,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)

Dalam tafsirnya, Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan bahwa penyembelihan hewan kurban bukan hanya sekedar penyembelihan saja. Tidak ada sedikit pun dari daging-daging dan darah hasil sembelihan yang sampai kepada Allah karena Allah adalah Zat Yang Mahakaya lagi Terpuji. Yang akan sampai kepada Allah hanyalah keikhlasan dalam berkurban yang dilakukan atas ketakwaan dengan mengharapkan pahala dengan niat yang baik [5].

2. Menghidupkan ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam [6]. 

Syariat mengenai ibadah kurban atau udhiyah ini mengingatkan kita tentang kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihissalam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ (٩٩) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (١٠٠) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (١٠١) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (١٠٢) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (١٠٣) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (١٠٤) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٠٥) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (١٠٦) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (١٠٧) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ (١٠٨) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (١٠٩) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١١٠) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (١١١)

“Dan Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS. Ash-Shaaffaat: 99-111)

Ayat-ayat di atas menggambarkan ketaatan dan kesabaran yang luar biasa dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihissalam. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah membenarkan mimpi yang beliau alami, sedangkan mimpi para nabi merupakan wahyu dari Allah ta’ala, sebagaimana diriwayatkan dari Amr bahwasannya beliau mendengar Ubaid bin Umair berkata,

إنَّ رُؤْيَا الأنْبِيَاءِ وحْيٌ ثُمَّ قَرَأَ: {إنِّي أرَى في المَنَامِ أنِّي أذْبَحُكَ} (الصافات:١٠٢)

“Sesungguhnya mimpi para nabi adalah wahyu. Kemudian beliau membaca ayat إنِّي أرَى في المَنَامِ أنِّي أذْبَحُكَ (sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu).” (H.R. Bukhari no. 859 dan Muslim no. 763) 

Kemudian, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bertanya kepada putranya, Ismail ‘alaihissalam, mengenai mimpi beliau yang memerintahkan untuk menyembelih putranya tersebut. Mengetahui bahwa hal tersebut adalah perintah Allah, dengan mantap Nabi Ismail ‘alaihissalam langsung mengiyakan tanpa banyak bertanya. 

Dalam tafsirnya, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menegaskan bahwa Nabi Ismail menyampaikan kepada ayahnya bahwasanya ia telah memantapkan dirinya untuk bersabar atas perintah tersebut. Ia menyertakan kehendak Allah padanya dengan mengucapkan “insyaallah” sebab tidak akan terjadi sesuatu apapun kecuali atas kehendak Allah [7].

Nabi Ismail ‘alaihissalam menunjukkan bahwa beliau telah rida dan taat terhadap perintah dari Allah. Karena kokohnya ketaatan, keridaan, dan kesabaran keduanya atas perintah Allah, lantas Allah mengutus malaikat Jibril ‘alaihissalam untuk mengganti Nabi Ismail dengan seekor kambing untuk disembelih Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Hal ini merupakan bentuk balasan Allah karena keduanya telah mendahulukan keridaan Allah di atas segalanya. 

3. Kurban sebagai wujud rasa syukur atas nikmat dan karunia Allah.

Ibadah kurban sebagai wujud rasa syukur atas nikmat dan karunia Allah adalah manifestasi dari pengakuan dan penghargaan atas anugerah yang diberikan-Nya berupa hewan-hewan ternak yang dapat disembelih dan dimanfaatkan dagingnya, seperti sapi, unta, dan kambing. Dalam surat An Nahl ayat 5, Allah berfirman,

وَٱلْأَنْعَٰمَ خَلَقَهَا ۗ لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَٰفِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ

” Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan.” (Q.S. An Nahl: 5) 

Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah menciptakan hewan-hewan ternak dengan berbagai manfaat yang dapat dinikmati manusia, termasuk daging yang bisa dikonsumsi. Lebih lanjut, dalam surat Al Hajj ayat 36, Allah berfirman, 

وَٱلْبُدْنَ جَعَلْنَٰهَا لَكُم مِّن شَعَٰٓئِرِ ٱللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَٱذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ عَلَيْهَا صَوَآفَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْقَانِعَ وَٱلْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan telah Kami jadikan untuk kalian unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kalian, mudah-mudahan kalian bersyukur.” (Q.S. Al Hajj: 36)

Ayat di atas menekankan bahwa hewan-hewan kurban, seperti unta, adalah bagian dari syiar Allah dan memberikan banyak kebaikan. Di antara karunia-Nya adalah Allah tundukkan unta-unta agar mudah disembelih sehingga kita berterima kasih dan bersyukur atas hal tersebut [8].

Selain itu, dengan berkurban berarti kita juga menyisihkan sebagian harta kita di jalan Allah. Kita membeli dan merawat hewan kurban dengan harta yang Allah titipkan kepada kita. Ini adalah bentuk nyata dari rasa syukur kita atas rezeki yang Allah berikan. Dengan mengorbankan sebagian dari apa yang kita miliki untuk berkurban, kita mengakui bahwa semua harta yang kita miliki sebenarnya adalah titipan dari Allah dan kita siap untuk menggunakannya di jalan-Nya.

4. Membangun kepekaan sosial dan rasa kasih sayang kepada kaum fakir miskin [9].

Hikmah kurban yang berkaitan dengan membangun rasa kasih sayang kepada kaum fakir miskin dan membangun kepekaan sosial sangatlah mendalam. Dengan berkurban, kita tidak hanya melaksanakan perintah Allah, tetapi juga berbagi rezeki dengan mereka yang kurang beruntung. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk memakan sebagian daging kurban dan membagikan kepada orang lain sebagaimana firman-Nya,

فَكُلُوا۟ مِنْهَا وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْقَانِعَ وَٱلْمُعْتَرَّ

“… maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta …” (Q.S. Al Hajj: 36)

Daging kurban yang dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan adalah wujud nyata dari kepedulian dan kasih sayang kita terhadap sesama. Hal ini mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap kondisi sosial di sekitar kita, mengingatkan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan tidak hanya milik pribadi, tetapi harus dirasakan bersama. Melalui kurban, kita belajar untuk merasakan dan memahami kesulitan orang lain, serta termotivasi untuk terus membantu dan mendukung mereka. Dengan demikian, kurban tidak hanya mempererat hubungan kita dengan Allah, tetapi juga memperkokoh ikatan sosial dalam masyarakat, menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan penuh kasih sayang.

Referensi

[1] https://muslim.or.id/22713-kenapa-masih-enggan-berqurban.html
[2] Jaza’iri, Abu Bakar Jabir. “Minhajul Muslim.” Jakarta: Darul Haq (2009).
[3] https://tafsirweb.com/13071-surat-al-kautsar-ayat-2.html
[4] https://tafsirweb.com/2286-surat-al-anam-ayat-162.html
[5] https://tafsirweb.com/5773-surat-al-hajj-ayat-37.html
[6] Jaza’iri, Abu Bakar Jabir. “Minhajul Muslim.” Jakarta: Darul Haq (2009)
[7] https://tafsirweb.com/8224-surat-as-saffat-ayat-102.html
[8] https://tafsirweb.com/5772-surat-al-hajj-ayat-36.html
[9] Jaza’iri, Abu Bakar Jabir. “Minhajul Muslim.” Jakarta: Darul Haq (2009)

Penulis: Ahmad Fathan Hidayatullah 

Kamis, 28 Zulkaidah 1445 H/6 Juni 2024