Ramadhan dan Budaya Membaca

Baru-baru ini saya menonton sebuah video di Facebook tentang Abu Dhabi International Book Fair 2018. Dalam video tersebut, sang presenter mengutip sebuah studi yang dilakukan oleh Arab Knowledge Foundation yang menyatakan bahwa anak-anak di negara-negara Barat membaca selama rata-rata 200 jam per tahun. Sementara itu, anak-anak di dunia Arab membaca hanya 6 menit/tahun. Mendengar informasi ini saya sangat terkejut, sama terkejutnya dengan orang-orang (mayoritas orang Barat) yang diwawancarai oleh sang presenter dalam video tersebut ketika mendengar informasi itu.

Semula saya ingin mempercayai informasi ini karena di era serba digital saat ini, sangat mungkin anak-anak menjadi malas membaca terutama membaca buku. Mereka akan lebih senang bermain game atau menonton video di YouTube melalui gawai mereka. Studi yang dilakukan oleh periset pasar, Childwise pada tahun 2015 menunjukkan bahwa anak-anak usia 5-16 tahun, rata-rata mengakses layar selama 6,5 jam/hari. Selain itu, survei lainnya menunjukkan bahwa 3 dari 4 anak menghabiskan waktu kurang dari 1 jam untuk bermain di luar, dan 3 dari 4 orang tua yang disurvei menyatakan, anak-anak mereka sering menolak memainkan permainan yang tidak melibatkan suatu teknologi di dalamnya.

Kembali ke persoalan baca tadi, saya meragukan hasil studi di video tersebut karena saya berpikir bagaimana mungkin di dunia Arab yang diturunkan Al Quran namun minat bacanya rendah.

Padahal seperti kita ketahui bersama, 14 abad yang lalu, Al Quran diturunkan Allah kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kalimat pertama yang berupa perintah untuk membaca.

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ – ١

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ – ٢

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ – ٣

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,

الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ – ٤

Yang mengajar (manusia) dengan pena.

عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ – ٥

Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

(QS. Al-‘Alaq: 1-5)

Secara eksplisit perintah membaca itu mengarahkan umat manusia agar membangun peradaban buku, meskipun penulisan Al Quran secara sistematis dalam bentuk kodifikasi lengkap baru dimulai pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan.

Komitmen Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wa sallam dalam memperjuangkan dan menyadarkan pentingnya budaya literasi bagi umat manusia bisa dijumpai dalam pelbagai usaha dakwah beliau dalam membumikan risalah Islam, salah satunya saat perang Badar. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi  wa sallam kala itu mensyaratkan mengajar membaca dan menulis kepada sepuluh anak kaum muslimin sebagai tebusan bagi tawanan perang dari pasukan musuh.

Setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa sallam, yaitu pada generasi sahabat, tabi’in dan generasi ulama setelahnya, sangat menyadari hakikat perintah membaca itu untuk terus mengembangkan peradaban buku. Berkat upaya para penerus Nabi generasi awal ini, bersumber dari pembacaan Al-Qur’an mereka berhasil melahirkan banyak karya dan mengembangkan banyak cabang ilmu. Al Quran menjadi satu kitab yang setelah dieksplorasi kandungannya mampu melahirkan beribu-ribu buku lain dengan aneka disiplin ilmu lainnya.

Perintah membaca sebagai wahyu yang pertama kali turun telah menjadi pemantik dan inspirasi bagi lahirnya banyak cabang dan disiplin ilmu baru yang tertuang dalam pelbagai khazanah kitab. Puncaknya terlihat pada masa periode khalifah Al Ma’mun dari Daulah Abbasiah. Al-Ma’mun yang memang sangat gandrung pada ilmu, terutama filsafat, mencanangkan proyek besar-besaran penerjemahan literatur Yunani ke dalam bahasa Arab, yang pada akhirnya Islam berhasil menjadi kiblat peradaban dunia berkat penghargaan yang sangat tinggi pada budaya literasi.

Akhirnya, hasil googling terhadap studi tersebut menunjukkan bahwa studi tersebut dilakukan pada tahun 2011 dan sejak itu banyak dijadikan rujukan oleh banyak pihak, bahkan oleh UNESCO (badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan).

Hasil pencarian saya juga mengarah kepada studi lainnya yang dilakukan pada tahun 2016 yakni terkait Arab Reading Index yang hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata membaca anak-anak Arab bukanlah 6 menit/tahun melainkan 35 jam/tahun dan 16 buku per tahun. Survei kali ini lebih meyakinkan karena melibatkan 148.000 responden.

Survei ini juga membuktikan bahwa di era digital saat ini, generasi muda muslim, masih menjiwai hakikat perintah “iqro” dalam Al Quran. Semoga di bulan Ramadhan yang mulia ini, kita juga terinspirasi untuk senantiasa mengkaji Al Quran guna mempersiapkan kembalinya peradaban emas Islam di muka bumi.

 


Penulis: Hendrik
Dosen Informatika UII

Jurusan Informatika UII menerima kiriman artikel untuk ditampilkan pada Pojok Informatika dan Pojok Dakwah. Ketentuan dan prosedur pengiriman dapat dilihat pada laman berikut.