Mengambil Pelajaran dari Refactoring: Sebuah Upaya Perbaikan Hati dan Pikiran

Ketika belajar tentang komputer, barangkali yang diperkenalkan pertama kali ke kita adalah istilah hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak). Sesuai dengan namanya, hardware merupakan serangkaian komponen (fisik) yang menyusun sebuah komputer. Adapun software adalah bagian komputer yang tidak berwujud, berupa data yang disimpan dan diformat secara digital agar komputer dapat dioperasikan dengan baik. Jika komputer dianalogikan dengan manusia, hardware adalah jasad kita yang terdiri dari organ-organ penyusunnya, sedangkan software adalah hati dan pikiran yang bertugas mengontrol jasad kita agar bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

Hardware dan software pada komputer perlu dirawat agar keduanya tetap bisa bekerja dengan baik. Cara merawatnya tentu saja berbeda. Merawat hardware relatif lebih mudah karena kasat mata. Jika kotor atau ada kerak tinggal dibersihkan dengan lap atau alat yang lainnya. Jika kendor, dipakemkan kembali colokannya, tinggal plug and play. Software tidak demikian, butuh usaha lebih untuk merawatnya. Tidak bisa dilap, dibersihkan, atau dicolokkan kembali sebagaimana kita merawat hardware. Umumnya kita akan merawat software ketika menemukan masalah, semisal ketika fiturnya tidak dapat dijalankan. Usaha perbaikannya biasanya juga butuh lebih banyak waktu, butuh ketelitian. Begitu juga dengan hardware dan software-nya manusia, juga butuh dirawat. Sama dengan komputer, merawat software-nya manusia itu lebih susah. Ya kan?

Salah satu cara untuk merawat software adalah dengan refactoring. Refactoring adalah proses memperbaiki struktur internal perangkat lunak tanpa mengubah perilaku eksternalnya (fitur/fungsi). Menurut Martin Fowler, tujuan utama dari perbaikan internal ini adalah untuk mencapai clean code and simple design. Sederhananya, struktur internal perangkat lunaknya jadi lebih bersih, bagus, rapi, mudah dibaca, mudah dirawat, dan tentu saja semua fiturnya bisa berjalan dan berfungsi dengan baik. Sama dengan hati dan pikiran kita, sebagai software-nya manusia, perlu di-refactoring agar menjadi lebih clean.

Sebelum pembahasan dilanjutkan, mari kita petakan kembali hubungan antara komputer, manusia, dan refactoring.

Komputer = hardware + software
Manusia = jasad + hati dan pikiran
Refactoring software = memperbaiki struktur internal, perilaku eksternal tetap
Refactoring hati dan pikiran = membersihkan hati dan pikiran, perilaku eksternal tetap
Perilaku eksternal software = fitur dan fungsi
Perilaku eksternal manusia = muamallah dan ibadah

 

Lalu bagaimana melakukan refactoring pada hati dan pikiran kita?

Menurut Martin Fowler, refactoring dimulai dengan mencari bad smells pada perangkat lunak kita. Bad smells adalah segala hal yang berpotensi menyebabkan masalah pada perangkat lunak, bukan hanya yang sudah jadi masalah. Sebagai contoh, parameter fungsi yang terlalu banyak/panjang. Parameter yang terlalu panjang berpotensi menyulitkan pembacaan program oleh programmer lain dan atau penggunaannya pada bagian kode program yang lain. Setelah bad smells ditemukan, langkah selanjutnya adalah memperbaikinya sesuai solusi yang direkomendasikan. Para pakar telah memberikan katalog apa saja yang termasuk bad smells sekaligus solusi untuk mengatasinya. Setelah bad smells selesai dihilangkan, maka perlu dilakukan pengujian untuk melihat apakah fitur perangat lunak masih bekerja sebagaimana mestinya atau tidak. Langkah-langkah refactoring secara sederhana dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 1.

Kita bisa meniru tahapan tersebut untuk melakukan refactoring hati dan pikiran, tentunya dengan beberapa penyesuaian. Dimulai dengan mencari/mendeteksi bad smells (sifat buruk) pada hati dan pikiran kita, mengatasinya sesuai rekomendasi pakar (ulama), dan menguji kembali dengan tetap melakukan muamalah serta ibadah kita dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan akhirnya adalah menjadi manusia yang clean, barangkali kata ihsan lebih tepat untuk menggantikannya. Ilustrasi dari langkah-langkah refactoring hati dan pikiran dapat dilihat pada Gambar 2.

 

Muhasabah: upaya untuk mencari bad smells-nya hati dan pikiran

Jika bed smells pada perangkat lunak bisa berupa long parameter, dead code, large class, duplicate code, dll; maka bed smells-nya hati bisa berupa iri, hasad, takabur, dan sifat buruk lainnya. Salah satu cara untuk mencari dan menilai sifat buruk apa saja yang ada pada diri kita yang berpotensi menyebabkan masalah adalah dengan cara muhasabah.

Muhasabah secara sederhana dapat diartikan sebagai proses untuk mengevaluasi diri sendiri secara jujur atas segala hal yang sudah dilakukan atau sudah terjadi. Meskipun tidak harus, biasanya digunakan untuk mencari kekurangan, kesalahan-kesalahan yang kita lakukan untuk kemudian diperbaiki. Rasulullah SAW dan sahabat adalah generasi yang seringkali melakukan muhasabah, bahkan setiap hari. Sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadist:

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Nabi bersabda: Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan hiasilah dirimu sekalian (dengan amal shaleh), karena adanya sesuatu yang lebih luas dan besar, dan sesuatu yang meringankan hisab di hari kiamat yaitu orang-orang yang bermuhasabah atas dirinya ketika di dunia.” (HR. Tirmidzi)

Selain itu, Al-Quran juga memberikan pelajaran bagi kita agar melakukan muhasabah ketika merasakan was-was karena perbuatan dosa:

اِنَّ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا اِذَا مَسَّهُمْ طٰۤىِٕفٌ مِّنَ الشَّيْطٰنِ تَذَكَّرُوْا فَاِذَا هُمْ مُّبْصِرُوْنَۚ – ٢٠١

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya)” (QS. Al-A’raf: 201)

Tidak hanya Rasulullah SAW dan sahabat, salafush shalih pun memberikan penekanan mengenai pentingnya muhasabah. Seperti apa yang disampaikan olah Al-Ghazali, “Orang yang (bijak) berakal hendaknya mengalokasikan seperempat waktunya untuk bermuhasabah.”

Lalu bagaimana cara untuk melakukan muhasabah? Muhasabah bisa dilakukan sendirian dengan merenung atau bertafakur, sebagaimana yang dilakukan Nabi Yunus AS. Bisa juga dilakukan dengan meminta pendapat dari orang lain, terutama orang-orang yang jujur dan shalih. Oleh karena itu, kita harus terbuka dan mau menerima masukan dari orang lain.

 

Menentukan obat yang tepat untuk perbaikan

Setelah melakukan muhasabah, langkah selanjutnya adalah menentukan obat yang tepat untuk sifat-sifat buruk yang kita miliki. Jika pada refactoring para pakar sudah mendefinisikan katalog bad smells sekaligus dengan rekomendasi cara mengatasinya, Islam pun sudah memberikan panduan mengenai beberapa penyakit hati/pikiran beserta obat untuk mengatasinya. Misalkan saja zakat dan sedekah sebagai obat kikir, puasa sebagai obat nafsu maksiat, diam sebagai obat marah, dan sebagainya.

 

Tetap bermuamalah dan beribadah setelah melakukan perbaikan

Salah satu tujuan Allah memberi kehidupan pada manusia adalah untuk menguji siapa yang paling baik amalnya. Sebagaimana firman-Nya:

ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ – ٢

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk: 2)

Jadi, setelah melakukan proses refactoring pada hati dan pikiran kita, tetaplah beramal, baik dalam wujud hablumminallah maupun hablumminannas.

 

Muhsin sebagai wujud manusia yang clean

Muhsin adalah orang yang berperilaku ihsan, yaitu tingkatan religiusitas yang paling tinggi. Dalam sebuah hadist disampaikan:

“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim 102)

Tingkatan yang lebih rendah dari sifat ihsan adalah senantiasa merasa diawasi oleh Allah, sehingga segala perbuatannya benar-benar diperhatikan. Perilaku ihsan sendiri mencakup ihsan kepada manusia (muamalah) dan ihsan kepada Allah (ibadah). Salah satu ciri ihsan adalah senantiasa memberikan yang terbaik di manapun dan kapanpun keberadannya, serta apapun aktivitasnya.

 

Demikianlah pelajaran yang bisa kita petik dari proses refactoring perangkat lunak untuk memperbaiki hati dan pikiran sebagai software-nya manusia. Meski tak sepenuhnya sama, filosofinya bisa diterapkan dengan beberapa penyesuaian. Wallahua’lam bi showab.

 


Penulis: Andhik Budi Cahyono
Dosen Informatika UII

Jurusan Informatika UII menerima kiriman artikel untuk ditampilkan pada Pojok Informatika dan Pojok Dakwah. Ketentuan dan prosedur pengiriman dapat dilihat pada laman berikut.