Self-love dalam Pandangan Islam

Self love - Freepik
Oleh: Novi Setiani

“Kamu harus punya self-love, belajar mencintai dan menerima dirimu sendiri.”

Self-love dulu ah… Setelah selesai submit tugas, aku mau jalan-jalan.”

Mungkin kita pernah mendengar kalimat-kalimat di atas, atau mungkin kita sendiri yang mengucapkannya. Dari segi arti bahasa, self-love dapat diartikan sebagai perilaku mencintai, menerima, dan menghormati diri sendiri. Perilaku ini tercermin dari beberapa hal, antara lain tidak berlarut-larut dengan rasa kecewa ketika mengalami kegagalan atau penolakan, percaya dengan kemampuan diri sendiri, memiliki pikiran positif terhadap diri sendiri, serta menerima segala kelebihan dan kekurangan diri. Namun, sering juga self-love dimaknai sebagai memanjakan diri sendiri dengan berbagai aktivitas yang disukai setelah berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas yang menumpuk.

Bagaimana sebenarnya memaknai self-love dari sudut pandang seorang muslim?

Pertama, kita dapat melihatnya dari tujuan diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamiin). Rahmat adalah kasih sayang yang dilandasi dengan ketulusan yang mengharapkan kebaikan. Adapun lil ‘alamiin artinya untuk semesta alam dan seisinya, termasuk seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini. Dapat kita maknai bahwa Rasulullah adalah manusia yang memiliki kasih sayang paling tulus kepada manusia dan alam seisinya. Rasulullah mencintai kita dengan tulus, melebihi cinta kita kepada diri kita sendiri. Mengapa? Karena Rasulullah mencintai kita dengan dilandasi ilmu yang benar mengenai apa yang terbaik bagi seorang manusia berdasarkan petunjuk yang diturunkan oleh Allah

Kedua, sebagai seorang muslim, mencintai diri sendiri berarti mengenal peran sebagai seorang hamba yang tunduk (aslama), serta mengetahui dengan ilmu yang benar mengenai jalan yang membawa keselamatan bagi kita. Kita menerima dengan penuh syukur terhadap apa yang Allah takdirkan bagi kita. Dalam kitab Mukasyafatul Qulub, Imam Al- Ghazali menjelaskan tentang cara menyayangi diri sendiri bagi seorang muslim yaitu:

  1. Memiliki kekhawatiran akan turunnya azab Allah sehingga fokus terhadap upaya yang membawa keselamatan baik dari aspek jasmaniyah, fikriyah, dan ruhiyah. Sebagai contoh, menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah karena yakin bahwa hal tersebut dapat membawa keselamatan bagi kita di dunia dan akhirat.
  2. Meskipun kita sudah memiliki keyakinan dan upaya untuk berada di jalan keselamatan, peluang melakukan kesalahan selalu ada dan merupakan hal yang manusiawi. Oleh karena itu, bagi seorang muslim, bertaubat saat melakukan kesalahan adalah salah satu cara untuk menyayangi diri. Dengan bertaubat, kita memiliki optimisme terhadap ampunan dari  Allah dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya.
  3. Selalu bersemangat mengerjakan ketaatan-ketaatan kepada Allah sebagai implementasi atas keimanan kita. Sebagai muslim, kita meyakini bahwa amal kebaikan ini akan setia menemani dan memberikan perlindungan di hari akhir. Jika kita mencintai diri kita, beramal saleh merupakan jalan terbaik untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.  
  4. Mengikhlaskan dan menyerahkan segala bentuk ketaatan dan amal kebaikan hanya kepada Allah akan menghilangkan kesia-siaan dari amal perbuatan tersebut. Tinggi rendah pahala yang diterima tergantung pada kadar keikhlasan kita dalam beramal. Saat mencintai diri sendiri, kita tentu menginginkan derajat yang tinggi di hadapan Allah . Pada Al-Qur’an, Surat Az-Zumar ayat 2, Allah mengajak kepada setiap hamba yang beriman agar senantiasa menjaga keikhlasan untuk meraih derajat yang tinggi.

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّـهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ ﴿٢

Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS Az-Zumar: 2)

Referensi

Imam Al-Ghazali. 2023. Mukâsyafah al-Qulûb, Bening Hati dengan Ilmu Tasawuf cetakan ke-2. Terjemahan Abu Hamida al-Faqir. Penerbit Marja’, Bandung. 231 hal.