Ketika Islam Mulai Asing bagi Muslim

menunggu berbuka puasa di masjid

Sesungguhnya Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana ia bermula, maka beruntunglah orang-orang yang asing” (Shahih Muslim dari Abi Hurairah)

Dalam zaman yang semakin modern ini, pengaruh budaya luar telah begitu merasuk ke dalam kehidupan kita di indonesia, terutama bagi umat muslim. Media sosial, film, musik, dan gaya hidup modern menjadi sarana utama dalam menyebarluaskan nilai-nilai dan gaya hidup yang sering bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini membawa dampak yang cukup rumit. Di satu sisi, kita semakin terhubung dengan dunia luar. Namun, di sisi lain, kita merasa semakin asing dengan keislaman kita sendiri.

Semakin terbuka dengan budaya luar membuat kita semakin bingung membedakan mana yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan mana yang tidak. Terutama bagi anak-anak muda dan generasi mendatang, mereka terpapar pada gambaran kehidupan yang tidak selalu sejalan dengan ajaran Islam. Inilah yang seringkali memicu krisis identitas di kalangan umat muslim. Mereka merasa terjebak di antara tuntutan budaya modern dan panggilan agama mereka. Belum lagi sulitnya membedakan antara apa yang sesungguhnya ajaran agama Islam dan apa yang bersifat cultural appropriation.

Menghadapi Rasa Asing

Tantangan ini memang berat. Namun, sebagai umat Islam, kita harus menemukan cara untuk menghadapinya. Salah satu langkahnya adalah dengan memperkuat pemahaman kita terhadap ajaran Islam. Ini bisa dilakukan dengan mendalami Al-Qur’an dan hadis, serta belajar dari para ulama dan cendekiawan Islam yang berpengalaman. Selain itu, kita juga perlu bijaksana dalam memilih budaya luar yang kita terima, mempertimbangkan apakah sesuai dengan nilai-nilai agama kita atau tidak. Sikap kritis terhadap budaya dan informasi yang kita terima akan membantu kita tetap berada pada jalur yang benar sesuai dengan ajaran agama.

Komunitas dan Lingkungan yang Mendukung

Selain itu, membangun komunitas yang kuat juga sangat penting. Dengan saling mendukung dan menguatkan di antara sesama muslim, kita bisa lebih kokoh dalam menjalani prinsip-prinsip keagamaan kita. Komunitas ini bisa menjadi tempat untuk berdiskusi, berbagi pengetahuan, dan saling memberi dukungan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh umat Islam di era modern ini.

Penting juga untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi umat Islam untuk menjalankan ajaran agama dengan baik. Institusi keagamaan, seperti masjid dan majelis ilmu, harus menjadi tempat yang ramah dan inklusif bagi semua umat muslim. Selain itu, pemerintah dan masyarakat juga perlu memberikan dukungan dan perlindungan bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah dan praktik keagamaan mereka tanpa hambatan.

Umat yang Adil dan Seimbang

Namun demikian, dalam menghadapi tantangan globalisasi ini, umat Islam juga perlu menjaga keseimbangan antara menjaga identitas keagamaan dan berinteraksi dengan masyarakat luas. Meskipun kita berusaha menjaga keaslian ajaran agama, kita juga harus terbuka terhadap perubahan zaman dan mengambil manfaat dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kita perlu menjadi bagian yang aktif dalam pembangunan masyarakat dan negara, serta berkontribusi positif dalam menciptakan perdamaian dan keadilan di dunia ini.

Dalam hal ini, konsep ummatan wasata (ummat yang adil dan seimbang) dalam Islam sangat relevan. Sebagai umat Islam, kita diharapkan untuk menjadi teladan dalam menjalani kehidupan yang seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat, antara kebutuhan individu dan kepentingan umum, serta antara tradisi dan kemajuan. Dengan menjalani kehidupan yang seimbang dan proporsional, kita dapat mengatasi tantangan globalisasi dengan lebih baik, menjaga identitas keislaman kita tetap utuh, dan menjadikan agama sebagai sumber kekuatan dan petunjuk dalam mengarungi arus zaman yang terus berubah.

Dengan demikian, melalui pendekatan yang bijaksana, proaktif, dan seimbang, umat Islam dapat mengatasi tantangan globalisasi dan menjaga identitas keislaman mereka tetap utuh. Sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali asing, beruntunglah orang-orang yang asing.

Penulis (Mahasiswa S-1 Informatika – Program Internasional): A’rafi Laksmana Dirgantara