Adab dalam Islam, Pondasi Utama Dakwah

oleh : Mukhammad Andri Setiawan

Pernahkah kita merenungkan mengapa dakwah para nabi begitu mengena di hati? Mengapa mereka mampu menghadapi penentang-penentang keras dengan tetap menjaga kemuliaan akhlak? Jawabannya terletak pada satu kata kunci: adab. Ya, adab atau akhlak dalam Islam bukanlah sekadar pelengkap, tapi juga menjadi pondasi utama yang menentukan keberhasilan sebuah interaksi, termasuk dalam menyampaikan kebenaran.

 

Mari kita tengok kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Bayangkan situasinya: seorang anak yang harus berhadapan dengan ayahnya sendiri karena perbedaan keyakinan yang sangat fundamental. Ayahnya adalah pembuat patung, sedangkan Ibrahim datang dengan ajaran tauhid. Konflik ini bukan sekadar perbedaan pendapat biasa, tetapi pertentangan antara syirik dan tauhid, antara kebatilan dan kebenaran.

 

Namun, bagaimana Ibrahim menyikapi situasi ini? Al-Qur’an mencatat dengan indah dalam Surah Maryam ayat 42-45, bagaimana Ibrahim tetap memanggil ayahnya dengan panggilan “Ya Abati” (Wahai ayahku). Tidak ada kata-kata kasar, tidak ada nada merendahkan, tidak ada sikap arogan meskipun Ibrahim berada di pihak kebenaran. Sebuah teladan luar biasa tentang bagaimana adab harus tetap terjaga bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun.

 

Kisah yang lebih mencengangkan lagi adalah ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalam untuk menghadapi Fir’aun. Kita semua tahu siapa Fir’aun – seorang tiran yang mengaku sebagai tuhan, pembunuh ribuan bayi tidak berdosa, penindas Bani Israil selama bertahun-tahun. Dia adalah simbol kezaliman dan kesombongan manusia.

 

Lalu apa perintah Allah kepada Musa dan Harun? Dalam Surah Thaha ayat 44, Allah berfirman:

“فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ”

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

 

Subhanallah! Kepada manusia sekelas Fir’aun pun, Allah memerintahkan untuk berbicara dengan lemah lembut. Ada hikmah mendalam di sini yang perlu kita renungkan. Pertama, kelembutan bisa meluluhkan hati yang paling keras sekalipun. Kedua, kita tidak pernah tahu kapan hidayah akan datang kepada seseorang. Ketiga, adab kita mencerminkan kemuliaan ajaran yang kita bawa.

 

Ada detail menarik yang sering luput dari perhatian kita. Nabi Musa alaihissalam sebenarnya memiliki hubungan historis dengan Fir’aun. Beliau dibesarkan di istana Fir’aun, diasuh dan dilindungi di sana saat masih bayi. Meskipun Fir’aun adalah musuh Allah, tetapi secara personal, dia pernah memiliki andil dalam kehidupan Musa kecil.

 

Ini mengajarkan kita bahwa dalam Islam, kita tetap harus menghargai kebaikan seseorang meskipun dia kemudian menjadi penentang kita. Adab mengharuskan kita untuk tidak melupakan jasa baik seseorang, bahkan ketika kita harus berseberangan dengannya dalam hal prinsip.

Misi Utama Rasulullah: Menyempurnakan Akhlak

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tegas menyatakan misi utamanya dalam sebuah hadits yang sangat terkenal:

“إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ”

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Perhatikan, Rasulullah tidak mengatakan “untuk mengajarkan” tetapi “untuk menyempurnakan”. Ini menunjukkan bahwa akhlak mulia sebenarnya sudah ada dalam fitrah manusia, dan Islam datang untuk menyempurnakannya. Misi ini begitu sentral sehingga Rasulullah menjadikannya sebagai pernyataan yang merangkum seluruh risalahnya.

 

Di zaman sekarang, ketika perbedaan pendapat begitu mudah memicu konflik di media sosial, ketika debat kusir menjadi tontonan harian, dan ketika ujaran kebencian menyebar lebih cepat dari virus, pelajaran tentang adab ini menjadi semakin relevan.

 

Bagaimana kita menyikapi perbedaan ideologi? Bagaimana kita berdakwah di tengah masyarakat yang plural? Bagaimana kita menegur kesalahan tanpa melukai? Jawabannya ada pada teladan para nabi: tetap berpegang pada kebenaran, tetapi sampaikan dengan cara yang penuh adab.

Dakwah yang Menggetarkan Hati

Dakwah yang paling efektif bukanlah yang paling keras suaranya, bukan pula yang paling tajam argumentasinya. Dakwah yang paling efektif adalah yang disampaikan dengan adab yang mulia, karena adab membuka pintu hati sebelum telinga mendengar kata-kata.

 

Mari kita jadikan adab sebagai identitas kita sebagai muslim, khususnya di lingkungan akademis. Biarlah orang mengenal Islam dari kelembutan tutur kata kita, dari kesantunan perilaku kita, dari kemuliaan akhlak kita. Karena sesungguhnya, itulah dakwah yang paling mengena, dakwah dengan keteladanan.

 

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing kita untuk memiliki adab yang mulia dalam setiap aspek kehidupan kita. Semoga kita bisa menjadi cerminan keindahan Islam melalui akhlak kita sehari-hari.

 

Wallahu a’lam bishawab.