Nuzululqur’an Sebagai Asas Kecerdasan

Al-Quran

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ مُحَمَّدٍ.


اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ

 “Sesungguhnya Kami (mulai menurunkannya pada malam yang diberkahi (Lailatulqadar). Sesungguhnya Kamilah pemberi peringatan.” (Q.S. Ad-Dukhan [44: 3])

Tidak dapat disangkal bahwa turunnya Al-Qur’an merupakan salah satu tonggak sejarah yang mengubah dunia. Perubahan tersebut diyakini sebagai perubahan dari sebuah zaman jahiliah (kebodohan) menuju zaman yang penuh dengan cahaya (ilmu). Zaman tersebut disebut zaman kebodohan bukan karena orang-orang pada saat itu bodoh dan tidak bisa melakukan apapun. Namun, karena orang-orang pada saat itu tidak bisa membedakan antara yang haq (benar) dan yang bathil (salah). Menyembah berhala, membunuh bayi perempuan, berjudi, mengonsumsi khamr (minuman keras) pun menjadi kebiasaan orang di zaman itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang prihatin dengan kondisi tersebut kemudian menyepi dan bertafakur mengenai kondisi kaumnya. Pada saat itulah, Allah melalui Malaikat Jibril ‘alaihissalam memberikan petunjuk kepada beliau:

 اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَ​ۚ‏ ١ خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ عَلَقٍ​ۚ‏ ٢ اِقۡرَاۡ وَرَبُّكَ الۡاَكۡرَمُۙ‏ ٣ الَّذِىۡ عَلَّمَ بِالۡقَلَمِۙ‏ ٤ عَلَّمَ الۡاِنۡسَانَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡؕ‏ ٥

 “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia (3). Yang mengajar (manusia) dengan pena (4). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya (5).” (Q.S. Al-Alaq [96:1-5])

Turunnya kelima ayat di atas menjadi pertanda bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi utusan-Nya. 

Menariknya, petunjuk yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala pertama kali untuk perubahan tersebut adalah اِقۡرَاۡ  (bacalah). Bahkan, Malaikat Jibril ‘alaihissalam mengulangnya sebanyak tiga kali sebelum melengkapkan ayat pertama surat Al-Alaq. Hal ini seolah-olah ingin menekankan pentingnya “membaca“. Walaupun seharusnya sudah menjadi rahasia umum bahwa hanya dengan membaca, kecerdasan seseorang akan terbentuk dan terbebas dari kebodohan atas izin Allah.

 Namun, di salah satu ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala memberikan petunjuk-Nya yang lain:

 وَفِي الْأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَىٰ بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَىٰ بَعْضٍ فِي الْأُكُلِ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ 

 “Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ra’du [13:4])

Ternyata untuk mendapatkan sebuah ilmu, seseorang tidak hanya dituntut untuk membaca ayat-ayat Allah, tetapi juga disyaratkan untuk berpikir. Hasil dari pemikiran tersebut yang kemudian akan menjadi sari-sari ilmu atas izin Allah subhanahu wa ta’ala.  Hal ini selaras dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ، مَنْ يَتَحَرَّى الْخَيْرَ يُعْطَهُ، وَمَنْ يَتَّقِ الشَّرَّ يُوقَهُ

“Sesungguhnya ilmu didapatkan dengan belajar dan sesungguhnya kesabaran/ketenangan didapat dengan terus melatih diri. Barangsiapa berusaha untuk mendapat kebaikan, maka Allah akan memberikannya. Barangsiapa yang berusaha untuk menjaga diri dari keburukan, niscaya akan dijaga dari keburukan.” (H.R. Ath-Thabrani dan Ad-Daraquthni, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahihul Jami’ no. 2328)

Hal ini sangat menarik jika ayat-ayat ini kita kaitkan dengan fenomena kecerdasan buatan yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Mengapa menarik? Karena kecerdasan buatan ini didapatkan dari hasil membaca data dan melatih sistem untuk berpikir menggunakan data tersebut. Jika kita merenungkan hal ini, sungguh! “Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: [55:13]). Allah telah menunjukkan cara bagaimana kita bisa mendapatkan ilmu dan sekaligus memberi pembuktian bahwa cara tersebut efektif. Allah memberikan data kepada kita berupa ayat-ayat-Nya agar kita berpikir dan membentuk kecerdasan kita sehingga mampu membedakan yang haq dan bathil atas izin Allah.

Semoga kemunculan kecerdasan buatan tidak mendorong kita untuk menggantungkan segalanya kepada sistem tersebut dan membuat kita menjadi malas berpikir karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

 كُلُّ نَفۡسٍ ۢ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِيۡنَةٌ ۙ‏ ٣٨

 “Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya,” (QS. Al-Mudassir: [74:38])

Dan semoga Allah memberikan memberikan ilmu dan petunjuk-Nya kepada kita semua.

Wabillahi taufiq wal hidayah,

Feri Wijayanto (Dosen Informatika UII)